Jumat, 04 Juli 2014

Gunung Arjuno





Sore ini saya akan mendaki gunung bersama atasan dan teman. Seperti yang kalian lihat diatas. Itulah perlengkapan saya untuk mendaki gunung Arjuno sore nanti. Gunung di Malang, Jawa Timur ini memiliki ketinggian 3.339 mdpl. Ah, saya benar-benar tidak sabar.

Mendaki gunung ataupun sekedar hiking merupakan salah satu hal yang melekat pada jiwa saya. Melihat keajaiban alam ciptaan Tuhan membuat saya bisa bertafakur untuk merenungkan bahwa saya tidak ada apa-apanya dibanding Tuhan dan sesama. Kerendahan hati adalah salah 1 hal yang terus saya pelajari agar saya dapat hidup lebih tenang dan damai.

Saya tahu, kamu dan saya mungkin memiliki perspektif yang berbeda dalam menjalani hidup. Tapi kapan-kapan saya ingin mengajak kamu masuk dalam perspektif saya di dunia saya ini. Dunia yang seolah keras dan rumit, namun kepetualangan didalamnya dapat membuat antusiasme dan rasa ingin tahu terbakar. Tentu, saya pun tidak akan menampik ajakan kalian masuk dalam perspektif kalian.

Tanggal 8 Agustus nanti saya berencana ke Ranu Kumbolo bersama karyawan RS. Mungkin kalian tertarik bergabung bersama saya? ^^

Tulisan yang super duper penting ini dipersembahkan dalam ketidaksabaran mendaki..


Surabaya, 4 Juli 2014

Saya, pasien, dan politik

Selamat siang..

Tidak terasa, 5 hari lagi bangsa dan negara kita akan memasuki salah 1 momen yang penting dalam menentukan masa depan bangsa dan negara ini. Ini bukan kali pertama saya mengikuti pemilihan presiden. Lima tahun yang lalu ketika masih berada di Bandung pun saya ikut berpartisipasi dalam memberikan suara. Tapi terasa benar bedanya. Kali ini suasana riuh dan gegap gempita benar-benar terasa. Pun, semangat yang terusung. Benar-benar beda.

Contohnya, ketika hari Minggu kemarin saya mengurus formulir untuk pemilu di kantor KPU Surabaya, saya benar-benar terpukau. Betapa tidak. Begitu ramai orang-orang yang mengantri untuk dapat berpartisipasi dalam memilih. Mulai dari yang membawa mobil mewah hingga motor biasa seperti saya. Mulai dari Ibu-ibu berjilbab panjang hingga remaja menggunakan tanktop. Semuanya begitu antusias dalam berpartisipasi. Entah siapapun calon yang mereka jagokan. Lima tahun yang lalu ketika saya sibuk mengurus kartu pemilih di Bandung, tidak ada tuh antrian panjang. Bahkan teman-teman dekat saya pun semuanya memiliki keputusan yang sama : Tidak akan memilih.

Keramaian ini tidak hanya ada di dunia nyata. Di dunia maya, melalui jejaring sosial pun begitu gegap gempita. Terutama di facebook. Saya yang awalnya tidak terlalu tertarik untuk berkomentar pun menjadi semangat untuk memberikan opini. Tapi efeknya memang benar-benar dahsyat. Saya harus kehilangan beberapa teman hanya karena berbeda pendapat dengan mereka. Pilihan yang berbeda tanpa disertai kebesaran hati membawa konsekuensi yang harus saya terima.

Kesemuanya itu bukan terjadi karena perbedaan yang saya dan mereka miliki. Tanpa momen pemilihan ini pun, baik saya dan mereka sudah banyak memiliki perbedaan. Namun yang membuat saya merasa miris adalah ketika menyadari bahwa mereka, yang saya putuskan tidak lagi menjadi bagian dalam lingkup pertemanan saya secara sepihak, ternyata memiliki hati yang tidak baik. Dan itu tidak baik untuk perkembangan mental saya.

Mungkin kalian berpendapat saya terlalu sombong dan terlalu gampang dalam menilai. Tapi ijinkanlah saya bertanya. Apakah kita diperkenankan mengatakan kata-kata kasar yang bahkan kata-kata kasar ini ditujukan kepada orang yang tidak berkontribusi negatif dalam hidup kita langsung? Atau menuliskan opini-opini mereka yang kesemuanya baru sebatas opini semata, namun dibalut kutipan-kutipan dari sumber-sumber yang tidak dapat dipercaya dengan sangat tendensius dan berkata bahwa itulah kebenaran yang hakiki? Dalam pada itu, saya menemukan bahwa ada beberapa teman-teman saya yang berhati seperti demikian.

Saya baru saja (tadi pagi) berdiskusi dengan seorang pasien hemodialisis (cuci darah). Kita sebut saja pak Untung. Beliau ini pasien lama di RS tempat saya bekerja. Dan saya sudah sering berdiskusi dengan beliau. Tentang budaya, tentang politik, tentang pasangan hidup. Awalnya beliau menanyakan perkembangan kemampuan bahasa jawa saya, yang diteruskan dengan dorongannya agar saya mencari pasangan hidup dari suku Jawa (Ah, semoga saja dia membaca tulisan saya ini). Tapi pada akhirnya kami mendiskusikan soal capres. Dan jelas, kami memiliki perbedaan dalam menentukan siapa capres yang menurut kami terbaik.

Kami tidak memiliki kesepahaman dalam banyak hal. Latar belakang kedua capres, timses mereka, hingga masa depan negara ini dalam beberapa tahun ke depan, tidak ada 1 hal pun yang sependapat. Kami berdiskusi sekitar 1 jam. Yang harus saya akui, pak Untung ini memang seorang yang cerdas. Pengetahuannya mengenai sepak terjang kedua capres, berikut tokoh-tokoh politik benar-benar memukau saya. Mulai dari Soekarno hingga Ali Moertopo. Mulai dari Prabowo masa kanak-kanak hingga karakter Jokowi. Semuanya membuat saya terpesona. Pantas saja saya menikmati waktu kami berdua.

Yang membuat saya menikmati perdebatan itu adalah, dalam ketidaksepahaman dan perbedaan pandangan yang kami miliki, kami berdua sama-sama mau mendengar pendapat satu sama lain. Kami berdua sama-sama dengan rendah hati mau mengiyakan kebenaran yang muncul dari argumentasi yang ada tanpa melepaskan kepercayaan yang kami punya masing-masing. Yang paling penting, kami berdua sama-sama bisa tertawa.

Saya terpaksa harus mengakhiri perdebatan siang itu karena harus berkeliling memeriksa pasien kembali. Tapi perasaan yang saya bawa setelah perdebatan itu bukanlah perasaan negatif hanya karena saya dan beliau berbeda pilihan. Tapi rasa puas bahwa saya memiliki lawan debat yang capable, rendah hati (bayangkan usianya yang sudah sepuh, tapi masih dapat bersabar berargumen dengan saya yang masih bau kunyit), serta selera humor nya yang baik. Sangat berbeda ketika saya beradu debat dengan teman-teman di facebook. Perasaan yang saya bawa adalah perasaan kesal dan penuh emosi karena kesikukuhan dalam mempertahankan pendapat dan tidak mau dengar-dengaran.

Saya sangat berharap sekali bahwasanya saya memiliki banyak teman-teman debat yang seperti beliau. Yang walaupun memiliki pandangan yang berbeda, namun masih dapat berkelakar setelahnya. Bukan hanya soal capres ini saja. Tapi dalam berbagai aspek.


Surabaya, 4 Juli 2014

Tulisan ini saya dedikasikan untuk seorang teman baik saya, ko Santo Fadjaray. Seorang teman diskusi dan debat yang luar biasa. Dalam banyak perbedaan pandangan yang kami miliki, kami masih dapat tertawa dan menghabiskan beberapa batang rokok hanya untuk mentertawai satu sama lain. Tuhan memberkatimu,ko.. ^^