Selasa, 27 Mei 2014

Sahabat dan gunung Panderman

Selamat malam. Sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis di blog ini. Weekend kemarin saya baru pulang dari Karimun Jawa. Pantai yang luar biasa indah. Oh, bintang yang luar biasa indah pula ketika malam tiba. Nanti akan saya tulis dalam 1 tulisan setelah tulisan saya ini. Saya tidak ingin merusak indahnya Karimun Jawa dengan topik tulisan kali ini yang agak sentimentil. Cerita Karimun Jawa akan lebih grande. Tenang saja.

Kalian mungkin bertanya, gambar apa di atas. Akan saya jelaskan. Itu adalah gambar pemandangan yang terlihat dari gunung Panderman, di kota Batu, Malang. Tingginya sekitar 2045 meter, dengan puncak Basundara. Dari atas kita bisa melihat pemandangan gunung Arjuno dan Welirang. Demikian sekilas info tentang Panderman. Mari masuk ke topik utama.

Saya berencana naik ke gunung itu dan kemping bersama seorang sahabat saya, weekend besok. Awalnya saya berencana ke Ranu Kumbolo, suatu tempat yang bisa disejajarkan keindahannya dengan danau-danau di Swiss. Tapi berhubung proses perijinan dan segala hal yang cukup ribet, sahabat saya ini menawarkan untuk mengganti destinasi gunung yang ingin saya sambangi. Berikut dengan tawaran menemani menaiki dan kemping bersama saya. Dia tau benar bahwa saya sedang gundah.

Saya tidak ingin menafikan diri bahwa saya adalah pria yang kuat. Yang bisa bertahan terhadap peliknya dan kentalnya drama hidup ini. Kepribadian saya yang kental akan sisi melankolis ketimbang sanguin nya, berkontribusi besar dalam cara saya menghadapi masalah. Salah satunya adalah dengan menyepi. Mengambil waktu sendiri untuk pause and pondering cukup sahih membantu saya menemukan kembali diri saya. Sahabat saya ini mengerti betul hal itu. Saya bersyukur atas kehadirannya.

Dia ini bukan hanya sekedar membantu mencari solusi. Dia yang mengurus semua informasi yang saya butuhkan. Mulai dari travel ke Malang hingga gambar-gambar yang bisa membantu saya menemukan gambaran gunung yang akan didaki kali ini. Saya percaya, Tuhan sangat sayang pol kepada bocah hitam ini.

Ketika saya tidak mampu berdamai dengan diri sendiri dan menemukan kedamaian di jiwa,menyendiri dan ditemani seorang teman yang karib, rasanya jauh lebih logis dalam upaya mencari solusi ketimbang melarikan diri ke gelapnya dunia malam dan dangkalnya cinta sesaat. Setidaknya, tidak menimbulkan masalah baru.

Note. Saya bersama Putra Egam. Pria hitam multitalenta, yang baru saja menjadi sarjana psikologi. Usianya jauh lebih muda daripada saya. Tapi pemahamannya akan hidup dapat menjamin kualitasnya sebagai pria idaman wanita. Bagi wanita yang berminat, dapat menghubungi saya. Untuk Putra, "Bro, nih gw promosiin elo. Semoga ya bro. Semoga lo diberkati dapet cewe baru. Hahahaha"


Surabaya, 27 Mei 2014
Kamar kosan. Diantara tas kemping dan susu Greenfield.

Senin, 19 Mei 2014

Syukur



Kemarin saya gereja sore. Hal yang biasa saya lakukan jika Minggu pagi saya bertugas di RS atau ada seminar kedokteran. Seharusnya sih saya ke gereja GKI di daerah Manyar. Saya merasa nyaman bergereja disana. Namun berhubung saya masih shock kejadian minggu lalu, akhirnya saya bergereja di Bethany Nginden, karena dekat dari kosan.

Saya sering memang bergereja disini. Cuma untuk beberapa alasan, saya tidak menjadi jemaat tetap disini. Selain karena gereja ini terlalu besar dan ramai, sejak kecil saya terbiasa dengan gereja konservatif (presbyterian).

Ada 1 lagu yang dinyanyiin di awal kebaktian kemarin. Saya tidak tahu lagu siapa dan judulnya apa (Belakangan saya baru tau kalo judulnya : Ajaib Kau Yesus dan diciptakan oleh Welyar Kauntu). Tapi liriknya yang sangat mengena buat saya berbunyi demikian :

"Banyaklah yang t'lah Kau buat dalam hidupku. Ku mau bersyukur, kumemujiMu. Dengan apa kudapat membalas kasihMu.."

Ah, saya benar-benar tidak dapat menahan diri saya untuk menahan emosi. Saya menangis bercucuran airmata. Hati saya bergejolak. Semua perasaan bercampur-baur. Haru, bersyukur, senang, sedih.

Dalam hidup saya kebelakang ini, saya telah banyak mengalami banyak hal. Hal baik maupun buruk. Perkara senang maupun sedih. Dalam kesemua yang terjadi itu, jiwa saya menyadari bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan saya. Bahkan, ketika doa-doa saya tidak terjawab sebagaimana yang saya inginkan, penguatan dan kebesaran hati selalu diberikan. Tapi rasa haru kali ini terutama lebih kepada rasa syukur dalam kerendahan hati saya. Terutama sejak saya hijrah ke Surabaya.

Sejak hari pertama menginjakkan kaki di Surabaya dalam proses wawancara untuk diterima bekerja di RS, Tuhan telah melakukan banyak perkara yang tidak teruraikan dimana letak kelogisannya oleh otak saya yang terbatas. Hari-hari berikutnya hingga bulan ke 6 ini pun saya masih terkesima dengan cara kerja-Nya Tuhan. Suatu hari nanti akan saya bagikan cerita-cerita itu. Seseorang yang dekat dengan saya berkata,
"Surabaya ini Betlehem buat kamu. Di kota ini Tuhan akan terus melakukan banyak hal buatmu..."

Rasanya ingin terus tinggal di kota ini. Dan terus merasakan limpahan berkat-berkat Tuhan. Tapi untuk satu dan dua alasan, saya tidak bisa berlama-lama disini. Kadang, jika memikirkan saya pindah (lagi), ada kekuatiran bahwa berkat Tuhan di kota lain itu tidak seperti yang terjadi di Surabaya ini. Tapi Tuhan bukanlah pribadi yang terbatas. Dan ketidakterbatasan Nya itu tentu saja tidak memandang kota mana saya tinggal. Hal yang cukup melegakan.

Hal itulah yang membuat saya tidak bisa menahan haru menyatakan syukur saya kepada Tuhan. Adik saya berkata, "Abang saat ini sedang menuai apa yang sudah abang lakukan buat orang lain. Abang sudah baik sama orang-orang, jadi sekarang saatnya abang merasakan itu...". Well, i never did something good to get good. Instead, i do good cos i want to. Beside, as a christian, that was a command from God. So, maybe that is the reason why i still amazed of what was happened.

Surabaya, someday i'll leave. Maybe soon, maybe later. But if that time comes, let me say 'Thank you' to you, and to you ....


Surabaya, 19 Mei 2014

Kamis, 15 Mei 2014

Grace, Anak Sekolah Minggu saya (Dulu)

Selamat malam..

Kali ini saya tidak sempat untuk menulis postingan baru. Saya hanya ingin mengutip tulisan dari blog lama saya saja. Tulisan tentang seorang anak sekolah minggu saya, ketika saya masih menjadi guru sekolah minggu dulu di Bandung. Saya tiba-tiba saja teringat tentang pelayanan ini. Bahwa saya merindukan pelayanan sekolah minggu. Tapi bekerja dengan sistem shift mau tidak mau saya harus bisa melepaskan pelayanan itu. Saat ini pelayanan saya yang utama adalah di rumah sakit.

Ini adalah tulisan awal tahun 2013. Waktu itu gaya penulisan saya masih menggunakan LO-GUE dan berapi-api. Tidak sekalem sekarang ini. Mungkin waktu itu saya masih dalam fase labil. Ya, sekarang pun masih belum stabil sih. Ah, nikmati sajalah tulisan ini..

Di postingan perdana di tahun yang baru ini, gw mau mensharingkan tentang seorang anak sekolah minggu gue. Yeah, buat kalian yang belum tau, ini sekaligus jadi pengumuman bahwa gue adalah seorang guru sekolah minggu. Kaget ? Bagaimana mungkin gue yang dengan tampang mesum dan kelakuan absurd begini bisa jadi seseorang yang bertugas membawa anak-anak ke Jalan Kebenaran? Jalan setan, masih lebih masuk akal. Setidaknya begitulah komentar temen-temen gw. Gue kasi tau, teman. Ini masuk tahun ke 5 gue jadi laoshi di gereja gue di Bandung ini. Laoshi itu sebutan buat guru dalam bahasa Mandarin. Gereja gue gereja Chinese, pasalnya. Makin shock? Yuk, gw bantu kalian untuk masuk ke dalam decompensatio cordis (gagal jantung) ke cerita selanjutnya.

Tahun ajaran 2012-2013 ini gw megang kelas 2 SD. Total anak yang gue asuh itu 12 orang. Rata-rata manusia. Sebiji diantara mereka ada yang merupakan spesies Goblin. Kerjanya tukang bikin ribut terus. Ada juga yang langsung diimpor dari Madame Tussaud Museum. Bisa senyum sih, tapi terlalu pendiam. Ada juga yang terlihat begitu encim-encim. Baik dari busana maupun gaya bicara. Gue rasa, kalau dosen psikiatri memberi gue tes MMPI (Tes kepribadian yang terdiri dari 567 soal, dan hasilnya terdiri dari 14 lembar berupa grafik), deviasi status mental gue rasanya udah gak ketolong.

Tapi ada 1 anak yang khusus. Yang begitu spesial. Yang entah demi apa Tuhan memberi dia buat gue ajar lebih dari yang lain. Yang benar-benar membuat pelayanan gw tahun ini terasa lebih berbeban dan melelahkan ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

Nama anak ini Grace (bukan nama sebenarnya). Meskipun sudah kelas 2 SD, ternyata dia masih belum bisa membaca dan menulis. Jangankan menulis sebuah kalimat panjang, menulis sebuah kata saja sangat sulit baginya. Eh, jangankan kata, 3 bulan sebelum ini, ada beberapa huruf konsonan yang dia masih belum familiar. Stress ndak lo? Gw nggak. Gw depresi ringan-sedang. Gw mengetahui ketidakberesan ini ketika setiap kali gue meminta dia membuka ayat Alkitab, dia tidak pernah bisa. Hanya tersenyum saja. Awalnya gue pikir anak ini begitu pemalu. Tapi ternyata Grace ini memang belum bisa menemukan apa yang harus dia cari dalam kalimat.

Hasrat superhero yang gak kesampaian sejak kecil pun muncul dalam diri gue.”Gue harus bisa ngajarin dia membaca!”. Itu yang gue bilang sama diri sendiri. Meski tidak dibarengin tangan mengepal keatas dan bilang “Yes!” sambil lutut ditekuk sih. Maka, ketika kelas sekolah minggu sudah berakhir, gw meminta Grace untuk tetap tinggal sebentar di kelas. “Grace.. Nanti sampein sama mami kamu, kalo mulai minggu depan laoshi mau ajarin kamu membaca ya? Setengah jam saja sesudah sekolah minggu...”, demikian gw katakan sama Grace ini. Dia hanya mengangguk. Okeeey, beres! Minggu depan tinggal ajarin aja nih, pikir gw. Tapi yang namanya mulut manis sama kenyataan itu memang beda,kawan. Minggu depannya begitu kelas bubar, Grace ini langsung menghilang. Gw cari-cari tapi ndak ketemu. Sampai gw menemukan Grace ini sembunyi dibalik pilar bersama ibunya. Ternyata niatan gue tidak disambut baik. Tapi bukan gue namanya kalo ndak keras kepala. Minggu depannya, gw hadang aja ni anak pas mau keluar. Gw kagak mau salaman sama dia (Di sekolah minggu ini, setelah kelas bubar, setiap anak wajib menyalami gurunya). So, dia gak akan bisa balik. Sadis? Ember. Hahahaha

So, mulailah gw ajar. Minggu pertama alfabet. Huruf besar dan huruf kecil. As my guess, she’s still cant. Minggu berikutnya juga masih. Kali ini dengan bernyanyi. Gw ajak dia bernyanyi pake gitar. Masih belum bisa. Minggu berikutnya dengan kertas-kertas berwarna. Wah,masih belum bisa dongs! Dan minggu-minggu berikutnya gw terus mencoba mencari cara supaya Grace ini bisa. Huruf-huruf akhirnya bisa sih, tapi kata masih belum. Segala metode gw lakuin. Mulai dari mengeja seperti INI IBU BUDI dan I-EN-I-NI. INI! Sampai membelikan buku tulis merangkai indah. Semuanya berakhir dengan antukan kepala gw di papan tulis saking depresi nya. Tiga bulan gw ajar, kemajuan yang di dapat hanyalah akhiran –NG yang bisa dikenal dan dibaca ENG. Hanya itu, tidak lebih. Akhiran –AH seperti kata RUMAH ataupun akhiran –AK seperti RUSAK seolah-olah tidak dikenalinya. Dalam ruangan ber AC, baju gw sudah basah oleh keringat. Hanya demi 1 anak.

Sampai kemarin, dengan assessment baru yang gw dapat dari seorang laoshi yang sedang mengambil master dalam bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus pun, tetap menunjukkan tanda-tanda bahwa tidak ada harapan. Menggunakan gambar-gambar dan teknik khusus, seperti tiada ada efek apa-apa. Kecuali suaranya yang bisa lebih keras ternyata.

Gw sudah ngobrol dengan ibunya. Gw sudah nanya, apakah Grace ini memiliki masalah medis. Apa pernah dibawa ke dokter untuk mengetahui apakah ada sesuatu yang salah darinya. Kata ibunya, belum, dan tidak ada masalah apa-apa. Gw juga sudah bertanya, bagaimana Grace ini belajar di sekolah dan dirumah. Kata ibunya :


  1. Di rumah saya yang ajarin. Bisa kok..
  2. Nilai Bahasa Inggris dan Matematikanya diatas 6,5 kok..
  3. Dia bisa mengikuti kok. Cuma belajarnya mengulang setelah apa yang dikatakan

Hey, ibuuuuu. Bagaimana bisa nilai bahasa inggris dan matematikanya bagus, sedangkan membaca kata dalam bahasa Indonesia saja masih belum bisa? Gw ngamuk sama ibu ini. Terus gw sepak dan tereak depan mukanya (Okay, ini hanya adegan dramatis aja). Tapi gw bener-bener gak terima kata-kata ibu ini. Antara ndak bisa nerima kenyataan, apakah gue yang gagal mengajar atau kata-kata ibu ini yang perlu dipertanyakan lebih lanjut.


Gw selalu memberikan laporan perkembangan Grace ini sama ibunya. Gw paparin segamblang mungkin kemajuan dan perkembangan Grace yang sedikit sekali, malah terkesan mandek. Ibunya berterima kasih sekali sih sama gue. Tapi yang saya butuhin bukan terima kasih, Ibuuuuu. Saya membutuhkan bantuan ibu untuk ikut memacu motivasi Grace dan mengajarinya... *Nangis dan gantung diri*


Ah......


Semakin kesini, semakin sering suara gw meninggi dan kehabisan kesabaran setiap mengajar Grace. Entah udah berapa kali gw antukin kepala gw di dinding saking frustasinya. Gw gak tau sampe kapan gw masih bertahan mengajarinya. Bener-bener pengen nyerah..


Tapi seseorang yang dekat dengan gue terus memberi semangat dan bilang,”Coba lo tumpang tangan doain dia. Bilang dalam nama Yesus...”. Gw baru ngeh, wajar aja gue frustasi gini. Gw belum pernah ngedoain si Grace ini dari 3 bulan yang lalu. Doa aja gak pernah, apalagi tumpang tangan dalam nama Yesus. Shame on me...


Maka, hari Minggu kemarin, setelah 1 jam penuh frustasi mengajar disertai banjir keringat, gw ajak Grace ini berdoa. Gw tumpang tangan ngedoain dia. Gw menyerah dengan usaha gw, gw minta Tuhan yang turun tangan langsung. Hampir nangis itu pas ngedoain. Gimana enggak, 3 bulan penuh kesombongan gw merasa bisa ngajarin dia, ternyata gak sama sekali. Butuh Kuasa yang melampaui segala akal pikiran gue...


Gw sih yakin ya, gak dengan serta merta minggu depan Grace ini langsung bisa membaca hanya dengan 1 doa itu aja. Butuh step-step lanjutan dan butuh doa-doa lanjutan. Bahkan, mungkin aja Grace baru bisa membaca 1 atau 2 atau 5 tahun dari sekarang, kalau itu memang masterplannya Tuhan. Yang gw dapetin disini adalah, bukan Grace yang belajar. Tapi gw. Tuhan ingin melihat seberapa besar hasrat gw untuk mau Tuhan bentuk supaya ndak sombong, bahwa dengan kehebatan gue, gue bisa membuat Grace ini bisa membaca. Gw juga yakin, Tuhan kayak mau liat, apa iya gw masih mau melayani Dia, meski terlihat tidak ada kemajuan sama sekali. Apalagi Cuma demi seorang anak. Hati gw masih seperti awal pelayanan dulu atau nggak.


Berat yak melayani Tuhan? Apalagi Tuhan yang dilayani ini adalah Tuhan yang besar dan yang meminta totalitas dan kesempurnaan. Dalam hati pengen bilang,”Eh, God.. Gue ini gak sempurna dan berdosa. Mana bisa gue ngasi yang sempurna? Plis deg...”. Tapi gw juga yakin, seyakin-yakinnya. Dia akan bilang, “Hey, Son.. I knew you. Masakan Aku meminta engkau melakukan sesuatu yang tidak bisa kau lakukan? Bukannya ada Aku? Aku yang akan memampukanmu dan memperlengkapimu. Percaya saja padaKu..”

 Kalo Tuhan udah bilang gitu, mau ngomong apalagi?



Eniwei, kabar terbaru dari anak ini ketika saya ke Bandung lagi adalah, ternyata dia sudah bisa membaca. Rekan sepelayanan saya yang kini mengajarnya mengatakan demikian. Well, saya bahagia mendengarnya. Semoga dia terus bisa belajar membaca dengan baik.


Surabaya, 15 Mei 2014
Dalam kondisi bosan 

Rabu, 14 Mei 2014

Kematian

Hai.
Selamat sore. Ya, Selamat sore buat kamu sekalian yang masih menikmati dan membaca tulisan-tulisan saya.
Saat ini saya sedang jaga di RS. Sudah keliling, dan sekarang sedang duduk menunggu teman kerja menyelesaikan kerjaannya dan makan malam. Rasanya saya demam lagi. Pilek dan batuk ini benar-benar mengganggu.

Eniwei, saya  mau ngomong soal kematian. Kenapa kok saya sering ngebahas kematian? Seorang filsuf yang saya lupa namanya pernah mengatakan demikian :

"Ketika kita mengerti tentang kematian, hidup terasa lebih mudah dijalani.."

Saya suka dengan pernyataan beliau. Ditambah lagi, Belum setengah bulan, di bulan Mei ini, saya sudah 'memberangkatkan' 4 pasien. Bukan perkara mudah menyampaikan kematian kepada keluarga pasien. Terlebih lagi bagi saya yang melankolik ini. Tapi bekerja di dunia kedokteran mau tidak mau saya harus bisa deal dengan hal itu.

Kali ini saya hendak mengutip tulisan saya di blog saya yang dulu. Tentang kematian. Semoga memberi makna buat kalian...

Note. Tadi ketika saya hendak ke ruang makan, langit sore begitu indah. Saya menyempatkan diri berdiam di parkiran dan memandang langit. Hidup itu indah. Mati pun tidak masalah...


Kematian.


Bagi saya, Kematian adalah salah 1 topik yang sangat menarik untuk dibicarakan. Mendapatkan pemahaman bahwa kematian merupakan hal yang esensial, krusial, tapi bukan sial adalah upaya untuk mengerti apa arti hidup itu sesungguhnya . Memahami kematian dapat memberi pengertian apa itu hidup. Saya bersyukur, Paulo Coelho, pengarang favorit saya juga berpendapat demikian.

Banyak orang takut untuk mati. Jangankan mati, membicarakan kata “mati” itu pun dianggap sebagai salah satu pelecehan terhadap keberlangsungan hidup. Alasan ketimuran, ketidaksopanan, dijadikan kambing hitam untuk menabukan pembicaraan tentang kematian ini. Salah satu hal yang disayangkan.

Barusan (Baru saja) saya menonton sebuah acara televisi. Disitu diceritakan bahwa presenter acara ini ingin mati dalam keadaan tenang. Tidak sakit parah. Kalau bisa, mati dalam kedaan sedang beribadah kepada Tuhannya. Saya berpikir, ini pikiran yang sangat manusiawi sekali. Banyak orang menginginkan demikian. Tanpa proses tersiksa terlebih dahulu. Malah, mendapat image yang baik, jika proses mati itu dalam keadaan beribadah.

Sayapun demikian. Tidak ingin mati dalam keadaan sakit parah. Tapi mati dalam keadaan berdoa tidak pernah jadi prioritas saya. Bahkan menjadi keinginan pun tidak.

Telah lama saya bercita-cita ingin mati ketika bertugas sebagai tenaga medis. Entah itu karena tembakan yang meleset dalam sebuah perang di Kongo ketika saya mengobati luka seorang anak kecil (Oh, sejak kecil hingga sekarang, ke Afrika adalah salah 1 impian saya). Atau jatuh kedalam jurang di lereng pegunungan di Papua ketika mengemudi mobil yang membawa pasien saya untuk dirujuk. Bahkan kalau bisa, jasad saya tidak pernah ditemukan sehingga tidak ada monumen peringatan akan diri saya yang dibangun di Kabanjahe sana, dimana saya dilahirkan. Sebuah Cita-cita yang gila.

Sebagai seorang Batak, sering saya ikut berziarah ke pekuburan tempat dimana opung-opung serta Tulang-tulang (paman) saya dikuburkan. Tangisan selalu ada diantara kerabat ketika berziarah tersebut. Terutama ibu saya yang memang sentimentil (Dan kesentimentilan ini rupanya menurun ke saya. Hal yang saya syukuri, meski sering sekali merepotkan). Ini membuat saya berpikir, jika saya mati mendahului Bapak-Ibu saya, juga Abang dan Adik-adik saya, monumen kematian saya hanya akan membuat duka itu akan terasa mendalam bagi mereka. Begitupun jika salah satu dari mereka yang mendahului saya. Hal ini saya yakini mengingat hubungan kami begitu akrab, sehingga jangankan mati. Ketika salah satu dari kami bepergian keluar kota, itu saja sudah membuat kami sedih. Susah memang menjadi keluarga yang sentimentil.

Kembali ke topik mati tadi. Seperti yang saya bilang, mati itu seru lagi untuk dibicarakan. Bagaimana orang memandang kematian akan mengejawantahkan bagaimana mereka hidup. Ketika seseorang menganggap mati itu hanya hilangnya sebuah entitas tanpa ada kemungkinan bermanifestasi dalam entitas lain, tentu saja akan menghidupi kehidupannya dengan sekena dan ala kadarnya. Toh, cepat atau lambat akan berakhir. Bagi kalangan yang berputus asa, tentu akan segera mengakhiri kehidupan mereka. Sebuah pilihan yang luar biasa berani. Sayang sekali. Andai keberanian itu dipakai untuk menjalani hidup yang diberikan pada mereka, tentu kematian akan terasa lebih baik.

Coelho bahkan memberikan bagi dirinya sebuah penghargaan tentang kematian dalam karyanya ‘Veronika Memutuskan Untuk Mati’. Buku yang jangankan untuk dibaca, membelinya pun saya belum sempat, meski sudah sangat direkomendasikan oleh seorang teman. Juga J.K Rowling dalam Saga terakhirnya ‘Harry Potter dan Relikui Kematian’. Sebuah saga terbaik sepanjang sejarah, menurut saya. Apalagi penggambaran kematian yang menurut saya begitu indah atas kisah relikui dimana kematian digambarkan sebagai teman lama.

Tidakkah kita semua menyadari bahwa kematian itu terasa begitu dekat? Begitu karib ketimbang sahabat terbaik? Tapi mengapa justru hal itulah yang paling kita hindari dalam percakapan serius kita?

Kadang saya cemburu dengan mereka yang mati muda. Buat saya hal itu cool. Setidaknya, itulah yang terlihat. Padahal, kematian pun bisa datang dalam sosok penipu. Jika demikian, mati dalam kedaaan telanjang pun akan menjadi sebuah aib. Meski bisa saja ketelanjangan itu diakibatkan karena ada menyukai setelan mahal yang dikenakan yang mati itu dan lantas mengambilnya, tanpa sempat memakaikan sesuatu sebagai ganti yang pantas. Mati pun menjadi tidak keren lagi.

Kematian, dengan cara apapun dia memeluk kita, kedatangannya tidak akan pernah kita sadari. Bahkan kata “Hampir Mati” atau “Nyaris Mati” atau “Sedikit Lagi Mati” juga tidak akan bisa menggambarkan kematian itu sesungguhnya. Terbukti, tidak ada orang yang sudah mati kembali pada kita dan kemudian menceritakan pengalaman ‘seru’nya mati. Jadi, tidak akan ada saran-saran,”Cobain deh mati dengan cara begini!” atau “Kamu matinya jatuh dari Monas saja. Menegangkan tapi sebuah harga yang pantas...”

Kematian sama pantasnya dengan kehidupan yang dijalani sebaik-baiknya. Jika hidup telah dijalani sebagaimana mestinya sesuai dengan hasrat dan cinta yang ada, tanpa harus memenuhi tuntutan orang-orang ataupun demi sebuah pembuktian, maka kematian adalah sebuah medali untuk kehidupan berikutnya yang seindah yang telah dijalaninya. Bahkan lebih indah. Yah, setidaknya keyakinan saya berkata demikian...


Catatan saya. 
Diantara semua tulisan-tulisan yang pernah saya publikasikan melalui blog maupun fesbuk, tulisan ini adalah karya terbaik saya. Dari segi tema hingga pemilihan kata. Saya bukan sombong. Anggap saja ini adalah apresiasi terhadap diri sendiri.

Surabaya, 14 Mei 2014
Ketika bangsal sepi, sesepi hati ini...

Selasa, 13 Mei 2014

Move On. (Bisa?)


Malam ini saya baru selesai jaga di RS. Mau pulang, tapi pengen nge blog dulu. Lagipula, di kosan bakalan susah move on... #Eh?

Ya. Kali ini saya ingin menulis tentang topik yang tabu dibicarakan sebagai laki-laki. Terutama saya, yang menjunjung tinggi maskulinitas. Tapi saya ingin belajar terus jujur, sebagaimana diri saya selama ini. Brutal truth always uncomfortable. But it is must to do thing to be free.

Saya pernah patah hati. Berkali-kali. Untuk banyak perempuan. Meskipun demikian, tetap saja saya jatuh cinta. Saya tidak pernah kapok untuk menikmati bagaimana rasanya jatuh cinta. Cinta membuat saya bahagia. Dan saya layak untuk bahagia. Mengenai apakah cinta saya berbalas atau tidak, hanya sepenggal luka yang akan hilang dibalut waktu. Saya percaya bahwa luka yang diakibatkan cinta hanya meninggalkan scar. Tidak membunuh harapan. Saya harap kalian juga demikian.

Patah hati pertama saya ketika kelas 1 SD. Oleh seorang perempuan bernama Dewi. Kecengan sekaligus saingan akademis saya. Ya, mungkin hormon saya terlalu cepat keluar. Terbukti dengan banyaknya bulu-bulu di wajah dan badan saya. But it's okay. Banyak yang menyukai cambang dan bulu dada ini... #eh?

Kembali ke topik. Saya patah hati karena dia pindah ke mana yang saya pun tidak tahu. Tapi apakah saya sudah move on? Jelas. Kenangan saya dengannya tidak banyak. Yang spesial antara saya dengannya cuma dialah my first kiss. Ups! Ya, saya pernah tidak sengaja berciuman dengannya ketika pelajaran menulis rangkai. Jadi, saya duduk di bangku paling belakang, dan dia duduk di bangku paling depan. Ketika saya hendak mengumpulkan tugas, dia baru selesai mengumpulkan. Dan puji Tuhan, berciumanlah kami. Kenapa saya bilang puji Tuhan? Karena saya sudah berjanji dengan diri sendiri, bahwa perempuan berikutnya yang akan saya cium bibirnya adalah dia yang akan saya bawa di depan mimbar. Dia, yang akan saya bawa ke Tuhan, dan berjanji akan memberikan cinta dan kesetiaan saya. Sayang, gereja-gereja di Indonesia belum bisa menerima konsep cium bibir di altar. Yah, mau ga mau ya cipokannya di resepsi aja. 
*Oh, costae ke 13 ku, kamu sudah lahir belum sih?

Perempuan kedua adalah kecengan saya ketika SMP. Saya patah hati karena tidak berani mengungkapkan. Jaman SMP adalah jaman saya masih pengecut. Tidak berani godain cewe. Apalagi godain cowo. Bahkan, ketika belakangan saya mengetahui bahwa cewe ini juga sebenernya ngecengin saya, saya tetap berjibaku dengan buku-buku. Sampai akhirnya kami dipisahkan oleh kelulusan.

Jaman SMA, ketika saya menjadi lebih berani, yang terbukti dengan menjadi junior paling pertama dan konsisten ngelawan kakak kelas dan guru, saya tetap tidak berani nembak cewe. Ehm, maaf. Pernah nembak sekali, tapi ditolak. Dan saya patah hatinya sambil diam dikamar asrama dan megang bola pingpong, yang terus saya bawa kemana-mana. Saya tidak tahu kenapa harus bola pingpong. Bahkan bermainnya pun saya tidak bisa. Cuma dalam konsep ketidakwarasan berpikir saya jaman SMA dulu menganggap bahwa patah hati dengan cara begini adalah unik. Biar 1 sekolahan tahu gitu, bahwa saya juga bisa patah hati. Tapi sayangnya tidak. Yang tahu saya patah hati cuma 1 orang kakak kelas. Cantik dan sholehah. Dia sempat menanyakan perihal bola pingpong itu, yang saya yakin pasti disesalinya. Well, bless u, sist.
*Jaman SMA saya pernah nembak lagi dan diterima. Kami jalan 2 tahun dan putus. Tapi saya benar-benar bisa move on dan berteman baik dengannya hingga kini

Jaman kuliah. Ah, jaman ini banyak sekali saya patah hati. Benar, tampang saya memang biasa. Menjurus ke tidak biasa dengan pola asimetris disana-sini. Tapi saya harus jujur. Saya tahu benar bagaimana memperlakukan cewe. karena itu, teman-teman saya terus beranggapan saya player dan tukang PHP cewe. Mereka kayanya lupa juga bahwa dibalik itu semua, record patah hati saya ketika kuliah jauh lebih banyak dan mendalam ketimbang image yang timbul bagi mereka. Well, that's life. Banyak ga adilnya... (Hahaha)
Intinya, jaman kuliah itu penderitaan saya karena cinta banyak bener. Sampai-sampai saya tidak bisa mengingat siapa-siapa saja mereka.

Kali ini. kali ini saya pun lagi patah hati. Kali ini patah hatinya karena seseorang yang sangat spesial buat saya. Hancur? Pakai banget. Sampai sakit seminggu ini. Kenapa begitu sakit? Rasanya saya masih belum bisa menceritakannya. Yang jelas, sedih sekali. Setiap malam saya berdoa meminta kekuatan dari Tuhan. Saya terlalu mencintai orang yang salah. Yang mungkin tidak mengerti cintanya saya, dan menerima nya. Menyedihkan? Pakai banget (masih). 

Pelarian saya cuma ke RS. Bekerja, bekerja, dan bekerja. Sering saya berharap, dimasa saya tidak jaga, saya dipanggil untuk menggantikan teman yang berhalangan. Berada di RS ini saya merasa nyaman. Sebagai manusia, dan sebagai diri saya sendiri.

Saya memang belum bisa move on. Tapi ketika melihat keluar dan matahari bersinar begitu cerah dari jendela RS seperti tadi sore, saya merasa hangat. Tuhan saya masih ada disana, tersenyum dan berkata bahwa segalanya akan baik-baik saja. Ketika menyentuh pasien-pasien dan berdialog dengan mereka, saya merasa jauh lebih beruntung. Masalah saya cuma hati saja. Hati yang terluka. jijik memang bahasa saya kali ini. Tapi percayalah, ketika kalian mengalami fase seperti yang saya alami, kata jijik itu seketika hilang dari area Wernicke otak besar kalian. Percayalah..

Pun, dengan teman sejawat dan perawat-perawat. Saya nyaman bersama mereka. Setidaknya, saya tidak salah profesi. Apalagi RS ini penuh wanita. Yah, mudah-mudahan bisa move on. Asal bulu-bulu saya tidak terus-menerus dicabuti mbak-mbak perawatnya saja.

Saya belajar move on terus. Susah? Jelas. Masalah hati ini rumit, kawan. Cinta bisa begitu indah bagaikan blackforest cake, berhiaskan ceri dan glasur putih nan menawan. Tapi cinta juga bisa bagaikan diabetes yang membunuh pelan-pelan setiap organ, dengan mengurangi fungsi organ lainnya kalau terlalu banyak makan blackforest. Maaf, perumpamaan saya begitu medis. Bagaimana yah, saya seorang dokter. Dan ini dunia saya. Saya mencintai dunia ini. Kalau tidak suka, doakan saja agar saya tidak diabet.

Saya masih menangis.
Saya masih mengambil gitar untuk bernyanyi melipur lara.
Saya masih mengingat dia.
Tapi ada banyak hal yang sudah saya pelajari.
Dan saya mau terus melangkah.
Tuhan masih bersama saya, dan memahami luka hati saya.
Itu saja cukup.
Paling tidak untuk saat ini...


Note. Berikut saya masukkan gambar-gambar yang temanya move on. Coba kalian liat satu per satu. Bagus-bagus dan mendalam maknanya. Beneran, liat satu-satu. Tapi gambar favorit saya adalah yang paling atas sebelum tulisan ini. Begitu maskulin, dingin, sedih, dan merepresentasikan kesendirian saya bersama alam.


Surabaya, 13 Mei 2014 Pukul 19.55
Ketika jam jaga sudah berakhir 2 jam lalu, dan saya enggan pulang..


























Minggu, 11 Mei 2014

Doa remeh

Malam ini saya sedang tugas jaga malam. Berprofesi sebagai dokter mau tidak mau masuk dalam dunia kerja yang memiliki jam kerja shift. Dan itulah yang sedang saya kerjakan sekarang. Semua bangsal sudah saya kunjungi dan melihat-lihat pasien-pasien mana yang perlu perhatian khusus. Ngantuk belum datang. Rasanya, waktu yang tepat untuk nge-blog. Dan disinilah saya, di depan laptop sambil mendengarkan si cantik Raisa bersenandung.

Kalian masih percaya Tuhan?
Masihkah percaya bahwa Dia mendengar, bahkan untuk hal yang remeh sekalipun?

Tadi sore ketika saya berangkat gereja, dalam perjalanan menggunakan sepeda motor saya ngobrol sama Tuhan. Saya bilang begini,

"God, saya ingin bertemu seseorang yang sudah lama tidak saya jumpai. Pengen liat mobilnya saja.."

Percaya atau tidak, terjadilah demikian. Saya berpapasan dengan mobilnya di dekat gereja saya. Lokasi yang sangat tidak mungkin untuk menjadi titik jawaban doa. Saya shock. Reaksi saya cuma mendahului mobilnya dan membuka helm. Saya tidak berhenti. Apalagi menyapa dan membunyikan klakson. Sampai di gereja saya terdiam. Dada begitu sesak. Antara bersyukur dan marah. Tapi Tuhan tidak pantas untuk mendapat kemarahan saya. Dia punya 1 tujuan atas hal itu. Karena itu, ketika pulang, saya ngobrol lagi denganNya.

"God, dada ini sesak nih. Bantu dong gimana caranya bisa nerima kenyataan tadi? Butuh seseorang ni, God.."

Kalian bilang saja saya sinting. Tapi ketika saya sampai di kamar kos, belum membuka sepatu dan belum membuka  pintu, hp saya berdering. Seorang sahabat baik saya menelpon. Dia menanyakan kabar saya dan permasalahan yang saya hadapi. Berhubung ini teman baik yang sejiwa dengan saya, saya bercerita banyak. Dan kalimat terakhirnya menjawab doa saya yang kedua.

"Lo harus bisa bikin prioritas dalam hidup lo. Yang gak penting, jangan lo pikirin. Yang nyakitin hati jangan ambil tempat dalam hidup lo.."
*Ga persis sama. Tapi intinya demikian*

Saya bilang begini kepadanya, "Lo bener-bener jawaban doa gue,Ve. Thanks ya..."

Doa saya seringnya begitu. Dipanjatkan tidak dalam keadaan lipat tangan dan tunduk kepala. Ketika jogging pun saya sering ngobrol sama Tuhan. Dan jawabannya pun lebih ngeri lagi. Terjawab dengan spesifik dan seperti yang saya 'usulkan' ke Dia.

Saya menulis begini bukan untuk memamerkan kuasa doa saya sehingga jawabannya bisa seperti itu. Ah, andai kalian tahu berapa banyak malam-malam saya habiskan berdoa meminta sesuatu dan jawabannya selalu berujung ke "TIDAK". Saya menulis ini dengan tujuan agar kalian semua masih bisa terus percaya bahwa Tuhan masih mendengar doa. Jika doa yang sepele saja Dia dengar, apalagi doa yang besar, yang untuk kebaikan kita?

Demikian.
Selamat pagi. Saatnya saya keliling bangsal lagi..

*Tulisan ini didedikasikan untuk dr. Verury yang telah menjadi perpanjangan Tuhan menjawab doa saya, serta pemilik mobil L 1**7 FA
 

RS. Premier, 12 Mei 2014 pukul 02.20 - Ketika semua tidur tenang

Sabtu, 10 Mei 2014

Kesepian

Bukan hanya saya. Kalian juga pasti pernah mengalami sensasi seperti judul postingan saya diatas. Se-optimis dan se-ekstrovertnya seseorang, setidaknya pernah lah mengalami kesepian 1 atau 2x dalam setahun. Jumlah itu akan meningkat drastis bila disematkan ke pribadi yang semelankolis seperti saya ini. Menyedihkan? Yeah, kadang-kadang saya juga mengasihani diri sendiri sih. Tapi itu beberapa waktu yang lalu. Sekarang saya mencoba untuk mengalihkan rasa itu dalam bentuk yg lebih konstruktif.

Dalam benak saya, kesepian muncul bukan semata karena berada dalam kesendirian. Mengamini lagu Dewa 19 yang bersyair, "Di dalam keramaian aku masih merasa sepi...", memberi peneguhan bahwa kesepian bukan dalam konteks populasi. Pemikiran saya berkata begini,

" Kesepian muncul ketika jiwa ini tidak mendapatkan tempat yang sesuai untuk berbagi kesamaan..."

Dalam bahasa yang pragmatis, rasa kesepian muncuk karena tidak ada orang yang memahami kita sepenuhnya, yang bisa diajak berbagi suka dan duka. Terlihat keren ya frase yang saya gunakan? Tapi percayalah. Jika kalian mengetahui apa yang jiwa saya rasakan, kalian akan sibuk berupaya mencari tempat labuhan untuk saya. Kesepian kronis dalam masa eksaserbasi akut.
*bahkan dalam kondisi seperti ini pun kualitas humor saya masih ditunggangi latar belakang profesi saya sebagai dokter*

Tulisan ini muncul bukan dalam rangka menunjukkan identitas saya sebagai remaja gaul yang doyan curcol. Pun tidak untuk berkeluh kesah atau mencari simpati. Sebagai seorang yang kerempeng karena terlalu banyak mikir, saya telah terbiasa membuat diri saya mengangkat masalah yang saya hadapi dalam bentuk ide sebagai tulisan. Dari dulu hingga sekarang saya beriman bahwa kemampuan menulis dan berbahasa akan meningkatkan kecerdasan intelektual. Menjadi intelek berarti menjadi pribadi yang mampu mengurai segala sesuatu secara logis. Berpikir logis berarti bisa hidup lebih simpel. Hidup yang simpel membuat jiwa lebih damai. Tujuan saya untuk si 'jiwa' itu saja sih sebenarnya.

Saya hanya ingin menyampaikan bahwasanya kesepian itu suatu hal yang alami. Seperti yang saya rasakan sekarang. Tapi bilamana kesepian itu diejawantahkan dengan berdiam diri di kamar, memutar lagu Pance Pondaag dan Dian Pisesha 1 album hingga 1 pak tisu habis, maka hal itu sudah menjadi pemaknaan yang keliru.

Mungkin sudah waktunya kamu, saya, kita, menerima kenyataan bahwa tidak ada sesosok pribadi pun yang bisa melengkapi kita sehingga mengenyahkan kesepian itu. Poinnya? Kita akan terus mengalami kesepian.  Solusinya? Berdamai dan berdistraksi dengan keadaan.

Yah, setidaknya buat saya demikian...


*tulisan ini didedikasikan untuk inspirator dan mentor saya. Rasa terima kasih dan cinta yang tak berkesudahan akan terus teruntai untuknya....


Surabaya, 11 Mei 2014 - kamar kos yang sepi

Jumat, 09 Mei 2014

I'm leaving on A Jet Plane

Tadi saya buka facebook. Niatnya sih mau liat-liat foto-foto. Tapi ternyata ada video seorang sahabat saya beberapa waktu lalu yang di tag ke akun facebook saya. Video itu rekaman dirinya menyanyikan lagu Chantel Kreviazuk : Leaving On A Jet Plane. Lagu yang saya rasa kalian semua tahu. Dan saya mendengarkan kembali video itu.

Saya tidak punya keterikatan personal dengan lagu itu sebenarnya. Berulang kali saya mendengarnya dan terasa begitu biasa. Tapi tidak untuk kali ini. Kali ini saya menangis. Lagu itu membawa saya ke sebuah kenangan akan seorang yang sangat berarti bagi saya. Dulu, dan sampai kapanpun. Seseorang yang kini tidak pernah saya jumpai lagi. Entah bagaimana kabarnya. Tapi semoga dia baik-baik saja.


Every place i go, i think of you..
Every song i sing, i sing for you..
I'm leaving on a jet plane. Don't know when i'll be back again.
Oh, babe i hate to go...

I will leave, soon. I will be okay. And i hope you too....




Ini link video sahabat saya :
https://www.facebook.com/photo.php?v=2554733542768&set=t.847344776&type=3&theater