Hari ini diperingati sebagai Hari
Pendidikan Nasional. Bagi kampus SMA ketika saya bersekolah dulu, hari ini pun
adalah hari yang spesial. SMA saya berulang tahun. Dan hari ini, SMA saya genap
berusia 21 tahun. Usia yang masih muda. SMA saya bernama SMA Taruna Bumi
Khatulistiwa.
Dari namanya, bisa ditebak bahwa
sekolah saya ini adalah sekolah berasrama dengan sistem agak-agak atau semi
semi gitulah. Agak militer. Karena berada di Pontianak, maka diberi tambahan
Bumi Khatulistiwa. Saya adalah angkatan ke 7 di sekolah itu. Yang bahkan hingga
sekarang masih tidak mengerti kenapa saya bisa lolos. Tapi saya sangat
bersyukur pernah berada disana dan memiliki cerita serta sahabat yang dapat
saya andalkan hingga sekarang. Padahal sudah 15 tahun yang lalu!
Kita semua suka mendengar cerita
yang detail. Membuat kita semua memiliki ide masing-masing tentang seperti apa
sebenarnya sekolah saya dulu, sehingga muncullah tulisan ini.
Proses seleksi masuk ke SMA saya
ini sangat tidak mudah. Dulu, ada beberapa tes yang harus kami lalui sebelum
dinyatakan diterima sebagai siswa/i di SMA tersebut. Tes Akademis, Tes
Kesemaptaan, Tes Kesehatan, Psikotes, dan diakhiri dengan Tes Wawancara.
Semuanya sistem gugur. Yang berarti, dapat melanjutkan ke tes berikutnya bila
tes sebelumnya dinyatakan lolos. Setelah angkatan saya, ada beberapa variasi
proses seleksi, namun tidak mengurangi kualitas yang diharapkan dari sekolah
ini terhadap calon siswa/i nya.
Masa orientasinya pun bervariasi.
Berhubung tahun 2001 sistem pendidikan kita masih menganut Caturwulan, maka
masa orientasi pendidikan berlangsung selama 1 caturwulan (16 Minggu) yang
diakhiri dengan Pembaretan, sebuah istilah dimana merupakan acara puncak dari
semua kegiatan yang telah dilaksanakan. Semacam Inagurasi, tapi dengan mengenakan
seragam militer hijau dan sepatu PDL, serta penuh lumpur. Tidak ada itu pentas
seni mengundang artis. Mana mungkin Ayu Tingting mau menyanyi Sambalado sambil
bergelimang lumpur. Hahaha
Selama 4 bulan atau 16 minggu di
asrama ini, kami sama sekali tidak boleh bertemu keluarga dan sanak famili.
Kami ‘terperangkap’ di dalam kampus dengan segala rutinitas yang padat. Mulai
dari subuh hingga malam hari. Oh, saya masih ingat urutan waktu kegiatan asrama
dari 04.30 pagi hingga 22.00 malam. Apel Pagi, Apel Siang, bahkan Apel Malam. Melanggar
keteraturan ini, berarti mendapat
sanksi. Saya pernah mendapat sanksi dalam hal aturan tidak boleh bertemu
orangtua. Saya pernah secara ‘tidak sengaja’ melambaikan tangan di depan jendela
kelas ketika melihat orangtua datang berkunjung untuk mengirimkan beberapa
barang kebutuhan. Saya katakan tidak sengaja karena sebenarnya saya sudah
bertekad bulat untuk tidak melihat keluarga sendiri, meski teman-teman sekelas
menyampaikan bahwa orangtua saya ada didepan. Tapi karena desakan dan dorongan
teman-teman yang mengatakan bahwa tidak ada yang tahu, saya pun akhirnya
melambaikan tangan.
Pada saat itu, angin tiba-tiba
agak kencang dan bulu roma saya agak merinding. Saya sudah tahu ada sesuatu
yang salah. Dan benarlah firasat itu. Ternyata ada kakak kelas yang melihat
dari balik pintu kelas. Saya dipanggil dan diberi hukuman. Lari mengelilingi
kolam ikan sambil berteriak,”Saya tidak kangen orangtua!”. Untungnya, hukuman
ini boleh dilakukan kapan saja saya bisa dan tidak bertabrakan dengan waktu
ekskul. Bakat otak busuk saya mengarahkan saya untuk melaksanakan hukuman itu
sore hari ketika semua siswa sedang mengikuti ekstrakurikuler. Tidak ada yang
tahu, saya bisa lari sambil berteriak pelan, dan terhindar dari rasa malu.
Licik memang. Sepertinya saya ada bakat menjadi politikus.
Baik, kembali ke almamater ini.
Namanya juga sekolah berasrama
dengan sistem agak militer tadi. Semua yang akan dilakukan telah terjadwal dan
tersusun rapi. Semua memiliki aturan masing-masing. Ada rutinitas harian serta
ada buku peraturan kehidupan berasrama beserta pasal-pasalnya. Tentu saja saya
tidak ingat saat ini semuanya. Kecuali 1 pasal. Kalau tidak salah pasal 33.
Pasal yang mengatur hubungan siswa dan siswi. Dalam bahasa awam, “Ngga boleh
pacaran!”. Pasal yang seru dan saru. Pasal yang paling sering dilanggar.
Termasuk saya. Pasal lainnya, tentu saja sudah tertelan faktor usia.
Ya. Ada banyak sekali peraturan
yang ada. Bukan saja dalam baris-berbaris atau upacara (Oh, ini juga banyak
banget aturannya). Bahkan urutan penempatan baju, pakaian dalam, sepatu/sendal
sampai tempat kitab suci semua ada aturannya.Ukuran lipatan baju saja diatur. Mungkin
24 cm lebarnya. Untungnya, warna sempak masih bebas. Sehingga bagi rekan-rekan
yang menyukai keberagaman warna dalam hal sempak, dapat terwadahi keinginannya.
Teman sekamar di asrama akan
berganti ketika kenaikan kelas. Kenaikan kelas berarti perpindahan asrama satu ke
asrama yang lain. Itu pun berarti teman sekamar akan berbeda. Sejauh yang saya
amati, teman sekamar biasanya berbeda daerah dan berbeda keyakinan. Sehingga
diharapkan proses akulturasi dan kesatuan dalam keberbedaan itu dapat terwujud
harmonis satu dengan yang lainnya. Pembagian teman sekamar ini diatur oleh OSIS
di Seksi terkait. Harap-harap cemas juga sebenarnya. Mengingat karakter setiap
orang berbeda-beda, sehingga bila mendapat teman sekamar yang agak berbeda
dengan kita, butuh penerimaan yang sangat luar biasa. Mungkin perlu berdiam
diri di Masjid atau Gereja atau Cetiya kampus menunggu ilham sehingga bisa
dengan berbesar hati mendapat teman sekamar yang hobinya ‘unik’.
Soal tempat ibadah, SMA kami
memfasilitasi dengan beberapa tempat ibadah sesuai dengan keyakinan setiap
siswa. Masjid ada. Gereja juga ada. Cetiya (tempat ibadah pemeluk agama Budha.
Kalau tidak salah sebutannya seperti itu. Mohon koreksi jika saya salah) juga
ada. Sehingga kegiatan spiritual pun dapat berjalan dengan baik.
Fasilitas Olahraga juga lumayan.
Lintasan lari ada. Lapangan basket ada. Lapangan Voli ada. Lapangan Bulutangkis
ada. Lapangan untuk olahraga kesemaptaan ada. Lapangan Sepakbola ada. Bahkan
Kolam Renang juga ada. Oke, untuk 2 terakhir merupakan variasi kreatif dari
kami saja. Lapangan Sepakbola sebenarnya adalah sebuah lapangan rumput yang
lumayan luas, yang berada tepat di depan pintu masuk gerbang kampus. Sering
dijadikan tempat bermain sepakbola. Mengenai kolam renang tadi, itu adalah
kolam ikan saja, tempat saya dihukum sambil berteriak pelan seperti yang sudah
saya ceritakan di depan. Menjadi kolam renang hanya pada moment khusus. Yaitu
ujian kesemaptaan. Setelah selesai ujian, biasanya kami akan menceburkan diri
untuk berenang disana. Oh, bukan kami sih. Hanya kelas 3 saja. Mengenai
alasannya kenapa, hanya Tuhan dan kelas 3 saja yang tahu.
Namanya juga sekolah agak
militer. Sistem penilaiannya pun dibuat sedemikian rupa, dengan tidak hanya
melihat dari unsur akademis semata. Tapi dari kemampuan fisik dan kepribadian.
Pada upacara pembagian rapor setiap caturwulan (atau Semester), selalu ada
barisan khusus bagi siswa/i berprestasi. Dari Hal Akademis, Kesemaptaan, dan
Kepribadian. Akademis dinilai dari nilai akademik, tentu saja. Kesemaptaan
dinilai dari kemampuan fisik. Ada ujiannya juga. Berapa putaran dia mampu
selesaikan dalam 12 menit, push up, sit up, dll. Sedangkan Kepribadian, dinilai
oleh dewan guru. Dalam ketiga unsur ini, bisa dipastikan saya tidak pernah
masuk di jajaran barisan siswa/i berprestasi tersebut. Demi kesehatan mental
saya, mari kita skip saja bagian ini.
Ekstrakurikuler. Ada banyak
sekali yang harus diikuti setiap harinya. Saya masih ingat ketika kelas satu
urutan ekskul dari hari Senin hingga Sabtu adalah seperti ini : Pidato Bahasa
Indonesia-Komputer-Ekskul Pilihan-Pencak Silat-Pramuka-Bela Negara. Menginjak
kelas 2, Pidato bahasa Indonesia diganti menjadi Pidato Bahasa Inggris. Jadi,
meski agak-agak miring juga otak saya ini, bahasa Inggris saya tidak
malu-maluin kok.
Ekskul pilihan ada beberapa
pilihan. Basket, Ensemble, Pecinta Alam, Karya Ilmiah Remaja. Hanya boleh
memilih 1 diantara 4 itu. Basket, saya ga bisa. Ensemble, nyanyi en main gitar
fals. Karya Ilmiah, otak begini ga mampu diajak berpikir rumit. Akhirnya saya
memilih pecinta alam. Bukan demi maskulinitas atau gengsi yang keren. Tapi
mungkin karena kesamaan leluhur bila didasarkan teori Darwin. Dan ga jauh-jauh
juga dari apa yang leluhur bisa, saya memilih panjat dinding sebagai fokus
kegiatan ekskul. Hal yang saya nikmati hingga berkuliah dulu.
Terakhir.
Bila tadi saya menceritak soal
‘materi’, sekarang saya akan menceritakan soal ‘jiwa’.
Saya tidak bisa menafikan bahwa
saya memiliki teman-teman yang solid dan kakak kelas serta adik kelas yang
akrab. Kami saling mengenal satu sama lain. Bahkan sekarang ketika sama-sama
menjadi alumni. Begitu karib. Hubungan yang awalnya ‘dipaksa’ untuk harus
berinteraksi pribadi lepas pribadi, membuat kami dengan sendirinya mengetahui
beberapa latar belakang serta keluarga masing-masing. Bukan saja ke teman
seangkatan, tapi lintas angkatan. Mungkin karena jumlah kami yang sangat
sedikit dalam setiap angkatan. Angkatan saya 50 orang. Angkatan di atas, tidak
sampai 50. Angkatan dibawah, hanya lebih banyak sedikit dari angkatan saya.
Disamping itu, kedekatan dengan
guru dan karyawan juga terasa. Berawal dari ‘pemaksaan’ kakak kelas untuk
menghapal semua nama petugas kantin, petugas pembersih sekolah, satpam-satpam,
dan karyawan lain, membuat kami akhirnya merasakan bahwa kami semua adalah satu
keluarga. Keluarga besar SMA Taruna Bumi Khatulistiwa. Bukan saja ketika masih
bersekolah disana. Bahkan saat ini, saya sendiri selalu merasa sentimentil jika
berbicara soal almamater. Apalagi di hari ulang tahun ini. Ulang tahun ke 21
ini. Batapa tidak. Terlalu banyak Cerita dan Cinta yang hadir disana. Salah
satu pengalaman luar biasa dalam hidup saya.
Bertahun-tahun sesudah kami
menjadi alumni, memang ada banyak sekali perubahan yang terjadi. Baik itu
perubahan ke arah yang lebih baik, maupun ke yang kurang baik. Dididik dengan
semangat kebangsaan dan nasionalisme dan sikap menghargai perbedaan yang
tinggi, tidak serta merta menjadikan semua alumni kami memiliki semangat
seperti itu. Hal yang membuat saya kadang merasa prihatin. Tapi setidaknya,
latar belakang sejarah yang kami miliki, dapat menjadi bahan yang baik untuk
kembali mempersatukan.
Ah, sudah jam setengah 10 malam
rupanya di Sumba. Jalanan sudah sepi. Yang terdengar diluar hanya bunyi
jangkrik. Tapi suara di dalam hati dan pikiran saya jauh lebih berisik. Haru,
Rindu, Bangga, Sukacita, Sedih, dan Perih, semua seolah menyelesak berlomba
ingin bercerita.
Selamat Ulang Tahun ke dua puluh
satu, almamater kebanggaanku, SMA Taruna Bumi Khatulistiwa.
Jayalah, Mulialah, Cita-citamu.
Sumba, 2 Mei 2016
Seorang Alumnus, Angkatan VII (2001-2004)