Sabtu, 24 Januari 2015

Blog Lama vs Blog Baru

Sabtu, 24 Januari 2015

Sedang jaga. Di luar hujan masih turun. Jam tangan menunjukkan pukul 17.47

Barusan saya membuka blog lama (dapat dibuka di : http://www.docpackers.blogspot.com ). Dengan 1 's' di belakang kata docpackers. Blog yang saya buat pada tahun 2010. Tidak ada masalah dengan blog itu sampai ketika terdapat jeda yang terlalu panjang dalam proses menulis, sehingga passwordnya pun terlupakan oleh saya. Dengan adanya blog yang baru ini, saya berharap minat saya dalam menulis dapat terus tertuang kapanpun dan dimanapun saya berada. Kapan saja, bahkan ketika pikiran ini saling berkejar-kejaran untuk mencari titik akhirnya.

Saya kemudian membaca postingan-postingan di awal blog itu berdiri. Rata-rata tema yang saya angkat adalah pengalaman lucu dalam kehidupan perkuliahan semasa di Bandung dulu. Gaya penulisan saya masih sangat labil. Terlalu antusias, dipenuhi 'lo-gue', tak terfokus, dan tidak rapi. Agak tidak nyaman juga, memang. Tapi saya mencoba memahami kondisi emosional saya yang masih muda dan meledak-meledak, tidak selempeng sekarang (meski kadang-kadang juga masih keras).

Saya lantas berpikir, betapa hebat dan banyak hal yang bisa dilakukan oleh waktu. Perubahan-perubahan terjadi begitu cepatnya. Bagi yang mengambil sikap positif dan memanifestasikan dalam setiap segi hidupnya, tentulah merasakan perubahan ke arah yang lebih baik. Sebaliknya. Bagi yang tidak mencoba perubahan atau yang berdiam diri hanya sekedar menjalani hidup, dapat dipastikan berkutat dalam penyesalan mengapa begini dan mengapa begitu. Itulah kita, manusia.

Saat ini saya pun demikian. Khususnya dalam perihal gaya penulisan. Saat ini saya lebih menyukai gaya bercerita yang lebih kalem dan sederhana. Menguraikan semua yang dipikirkan dan dirasakan dengan santai, tanpa berusaha terlihat menonjol. Tapi tujuannya masih sama. Menyoal tentang kemanusiaan dan nilai-nilai yang dapat diambil bagi siapa saja yang membaca. Semoga keluhuran niatan  ini dapat dirasakan dalam setiap penceritaan saya. Bukan, bukan karena saya merasa lebih dewasa ataupun mencitrakan sebagai pribadi yang tenang. Soal selera dan kenyamanan saja kok.

Apakah saya kemudian kehilangan selera humor?
Atau, apakah hidup saya sudah tidak polikrom lagi?
Juga apakah ini berarti tidak ada lagi cerita menarik yang dapat saya ceritakan untuk menghibur?

Saya pikir tidak. Sampai sekarang pun, ada banyak hal-hal luar biasa yang terjadi dan saya sadari sepenuhnya melalui semua penginderaan yang telah Sang Pencipta berikan. Semuanya menarik. Lucu pun tidak pernah berkurang. Kita sama-sama tahu bahwa Dia mempunya selera humor yang baik, yang kalau jiwa kita menyadarinya, kita pun dapat tertawa bersama-sama. Hanya saja, saya lebih bersabar untuk mengelola semuanya dalam pikiran, untuk dapat dipilah dan diejawantahkan dengan cara yang lebih baik dan terarah. Hal ini saya lakukan mengingat betapa mudahnya pikiran-pikiran ini berdistraksi tanpa sempat melebur menjadi satu isi.

Ya, begitulah.

Tapi, bisa jadi juga sih saya telah terlalu banyak mengalami hal-hal berat, sehingga terasa lebih berat jugalah tulisan-tulisan yang tercipta. Bisa jadi...


18.20
Saatnya kembali keliling bangsal.

Senin, 19 Januari 2015

Relatif

Selasa, 20 Januari 2015

Saat ini jam saya menunjukkan pukul 10.20. Bagi kebanyakan orang, masih berada dalam kebingungan dalam hal menyapa. Entah selamat pagi ataukah selamat siang. Bila hari demikian cerahnya hingga sengatan sang mentari mulai terasa, selamat siang lah yang terucap. Namun bila mendung datang menghampiri, yang disertai turunnya hujan, maka selamat pagi akan lebih terasa. Semua terasa relatif.

Ngomong-ngomong soal relatif, kita rasanya berada di dunia dimana semuanya tidak ada yang absolut. Kebenaran yang mutlak sekalipun, dapat dipuntir, diolah dengan kata-kata luar biasa, kemudian dilemparkan kembali dalam sebuah bentuk yang membuat kita memberikan penyetujuan. Seperti politik yang terjadi saat ini.

Teringat oleh saya sebuah tulisan di blog seorang teman. Tulisannya ini sebenarnya hanya menyoal tentang ungkapan syukur dan kebahagiaannya di fase kehidupan yang ia rasa luar biasa dan merupakan sebuah perjalanan mencapai impian yang baginya luar biasa juga. Pun bagi saya, tulisannya sangat menarik untuk dibaca. Tidak ada unsur arogansi disana. Tapi, disinilah 'relatif' itu datang. Ada sebuah komentar yang menyatakan bahwa penulisnya sombong. Ingin saya marah. Tidak pantas hal itu disematkan. "Bukannya kamu yang sirik? Biasa aja kali,woi!", begitulah ide yang ingin saya lontarkan. Tapi saya berpikir kembali, kedekatan saya dan teman ini akan membawa unsur subjektivitas yang kental. Dan tendensi yang demikian hanya akan membawa kesulitan buatnya. Karena itu, saya memilih diam.

Beberapa hari yang lalu, saya menonton sebuah video yang dibagikan di sebuah laman situs humanis.  Video itu memperlihatkan pembicaraan seorang ayah dan putrinya. Bagaimana sang ayah tersebut mengajari sang putrinya untuk mengetahui konsep dirinya, dan betapa ia sangat berharga. Sang ayah mengambil perumpamaan bahwa anaknya adalah seorang Princess, dan kelak akan menjadi Queen. Sehingga sang anak ini harus menjaga dirinya, dan sikapnya untuk menjadi seorang yang baik. Buat kebanyakan orang, dan juga saya, akan mengamini bahwa video ini adalah video yang sangat baik. Sarat pengajaran yang luar biasa dari seorang ayah kepada putrinya. Juga kedekatan yang indah. Tapi tetap saja,'relatif' akan selalu muncul.

Ada 2 komentar yang mengusik dan mengganggu saya.

Komentar pertama : Orang ini menyatakan tidak baik mendidik anaknya dengan mengajarkan bahwa dirinya adalah seorang putri. Nanti anak ini akan merasa dirinya putri dan sikapnya menjadi tidak baik. Bukan hanya itu saja, sang ayah dikatakan menjual mimpi ke anaknya.

Komentar kedua : Orang ini mengatakan bahwa seharusnya sang anak dididik sesuai dengan iman Kristen dan sesuai Alkitab.

Sebagai seorang Kristen, saya sendiri tidak menyukai komentar seperti ini. Buat saya, komentar begini hanyalah komentar hipokrit. Membawa-bawa unsur agama dalam membenarkan pandangannya buat saya adalah tidak benar. Lagipula, saya tidak melihat adanya hal yang bertentangan dengan kekristenan di video itu. Sepanjang hal itu baik, kenapa tidak? Orang ini menafikan bahwa setiap anak kecil mempunyai imajinasi yang luas yang harus selalu dipuaskan dan mendapatkan jawaban. Pembelajaran melalui mimpi dan perumpamaan akan membawa anak belajar untuk memiliki iman (terhadap apapun), dan harapan. Tidak jauh berbeda mengajarkan ke anak bahwa mereka dapat meraih bintang dilangit asalkan terus berusaha dan berharap. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya menjadi dewasa, mereka akan memahami sendiri maksud di
balik itu semua. Pendapat saya ini sekaligus mengomentari komentar pertama tadi.

Satu lagi. Tadi pagi saya membuka youtube. Video yang saya lihat kali ini adalah "Sri Ngilang". Sebuah video yang menarik dimana tokoh-tokohnya diperankan oleh bule-bule dari Australia, tapi menggunakan bahasa Jawa. Saya terhibur dan merasa bangga, bahwa salah satu bahasa nasional dihargai sedemikian rupa oleh bangsa asing. Tapi, kembali. Tetap saja 'relatif' sialan itu muncul.

Ada 2 komentar pula yang mengganggu saya.

Komentar pertama mengatakan bahwa kita harus malu karena bahasa Jawa diobrak-abrik oleh bule-bule ini. Komentar kedua bilang bahwa bahasa mereka kacau balau. Eh? Komentar ini bener-bener ga pake otak kan ya? Soalnya saya bingung pola pikirnya dimana. Entah kenapa begitu negatif.

Relatif

Ya, relatif telah membuat banyak kita mengabaikan banyak hal. Kita terlalu dipenuhi kenegatifan untuk melihat segala sesuatunya. Entah supaya kita dianggap berkontribusi, ataukah hanya ingin nampang saja. Juga mungkin karena demi nasi bungkus (demo hotel Zodiac).



Surabaya, 20 Januari 2015
Dalam keadaan drop dan berdoa semoga tidak tipes...

Minggu, 18 Januari 2015

Mengejar Impian

19 Januari 2015

Hari masih pagi. Saya masih di RS menunggu jam jaga malam berakhir. Duduk di depan komputer sembari mendengar lagu-lagu Fatin, adik saya. Semarga, tidak sekandung. Lagu-lagunya menyenangkan.

Seperti biasa, ada banyak hal yang berputar di kepala belakangan ini. Tidak, tidak sampai membuat gelisah. Hanya berproyeksi, akan kemana dan menjadi seperti apakah semua ide-ide itu. Bergairah sekaligus takut.

Teringat seorang teman baik, dokter juga, blogger juga. Sejak dulu, dia adalah salah satu orang yang tau apa mimpinya, dan berani mengejar mimpinya di antara teman-teman saya yang lain. Saat ini dia sedang berada di Melbourne untuk melanjutkan studi. Tadi malam saya baca blognya. Ah, senang dan bahagia melihatnya disana. Meninggalkan Indonesia untuk 2 tahun demi sebuah impian. Tidak sebentar, tapi tidak lama juga. Saya belum menghubungi untuk mengucapkan selamat ataupun mengungkapkan kekaguman. Tapi jauh dalam hati, saya berdoa untuknya. Dan untuk saya.

Dulu, saya memiliki banyak keberanian untuk melakukan berbagai hal yang ingin saya lakukan. Hormon-hormon yang keluar dalam antusiasme itu membuat hidup saya bersemangat, sekaligus menumbuhkan banyak bulu-bulu di muka saya. Tidak berkorelasi, memang. Tapi ya, rasanya saya saat ini kehilangan keberanian itu. Saya sudah nyaman dengan apa yang saya jalani sekarang. Dan sungguh, itu tidak baik. Untuk orang seusia saya, yang masih jauh untuk didatangi kematian dalam proses penuaan.

Saya kemudian mengingat kembali apa-apa saja yang ingin saya raih dan lakukan, sebelum tersungkur dalam penyesalan. Dari kesemuanya itu, tidak ada satupun yang tidak mungkin dicapai. Persoalannya cuma satu, dan selalu satu. Keberanian.

Memori November 2013 kemudian menghampiri. Kala itu, saya memutuskan untuk hijrah ke Surabaya. Sebuah kota yang asing, sekaligus besar untuk menjadi bagian dalamnya. Dalam pelbagai halangan dan tentangan yang (dulu) begitu berat, ternyata dapat dilalui. Saya mengatakan pada diri sendiri bahwa saya bisa, dan ternyata bisa. Entah bagaimana saya saat ini jika waktu itu tidak meresponi tantangan itu.

Januari 2015. Empat belas bulan setelahnya. Saya kembali bertanya-tanya, "Apa lagi yang akan kau lakukan, hai diriku yang lelah?" Masihkah kau berani menantang semesta untuk memberkatimu dengan dunia yang baru?"

Well, saya tidak tahu. Tapi setidaknya saya memiliki 1 langkah yang akan saya jalani hari ini. Ngeri juga. Tapi hal-hal baik tidak pernah didapatkan dengan mudah. Saya hanya percaya kepada diri sendiri, dan kepada semesta. Jika, kata 'Tuhan' terlalu religius buatmu..



Surabaya, 06.35
Dalam keadaan batuk, pilek, demam, dan masalah pencernaan. Semoga tidak tipes (Typhoid)

Selasa, 13 Januari 2015

Puisi

Ceritanya saya sedang jaga malam. Puji Tuhan keadaan berlangsung aman. Setidaknya sampai saat ini. Saya jadi memiliki waktu untuk menulis. Kali ini saya ingin menulis puisi. Puisi ini saya buat ketika berada dalam penerbangan dari Pontianak menuju Surabaya, awal tahun 2015 ini. Temanya tentang patah hati. Siapapun pernah patah hati, bukan? ^^



Tentang Kita

Dulu, pernah ada kita.
Bukan sekedar cerita, atau canda dalam cinta.
Pernah ada tangis yang kau hamburkan didadaku ketika bercerita tentang masa lalumu.
Juga pernah ada isakku yang membuncah di pelukanmu ketika kubagikan ketakutanku akan hari esok.

Bukan.
Itu bukan sekedar ketentraman ataupun kenyamanan.
Juga bukan kedamaian.
Rasa kala itu sudah tidak berfungsi dan tidak bisa bermanifestasi menjadi apapun yang bisa diterjemahkan.
Hanya ada kita.

Tapi itu dulu.
Sebelum kutahu bahwa sudah ada kalian sebelum kita.
Betapa bodohnya diriku masa itu. Pada masa kita itu.

Bercahaya bagai matahari nakal ke sebuah pohon mangga.
Menyampaikan salam seolah buahnya sudah ranum dan siap untuk dipetik.
Menafikan redupnya binar matamu yang menunggunya.
Menunggu dia dan sebuah 'kalian'.

Mengapa tak kau katakan sejak dulu?
Mengapa tidak sedikitpun dapat kau sampaikan bahwa apa yang selama ini kuanggap sebagai kita,
Hanya sebuah surga sementara.
Yang kini menjadi kenangan.

Alangkah kejamnya dirimu membiarkanku merapikan kenangan itu yang bermilyar-milyar jumlahnya
(mungkin aku berlebihan).

Aku tak bisa menyatukannya.
Karena sudah tidak ada lagi kita.

Aku sudah tidak ada lagi dalam dirimu
Meski keutuhanmu masih terasa sesak didadaku.

Kini aku cuma sendiri.
Ditemani cahaya pohon mangga,
dan semua tentang kita.

4 Januari 2015
Dalam penerbangan menuju Surabaya



Catatan tidak penting :
Mas Inod, thanks buku kumpulan puisinya. Bikin saya tertarik untuk menulis puisi lagi. You heart me, bro!
Ve, sudah aku tulis ya. Selamat menikmati..^^