Kamis, 19 Juni 2014

Sahabat dan PPDS

Selamat pagi..

Wah, sudah lama juga saya tidak menulis. Terlalu sibuk dolanan dan kerja (baca : ngecengin perawat). Bisa usang juga ni blog lama-lama kalau tidak disambangin pemiliknya.

Saya baru saja selesai jaga malam. Tadi malam pasien di UGD lumayan rame. Untungnya pasien di ruangan tidak seberapa rempong. Jadi masih sempat ngelirik bola dan curcol-curcol sama mbak-mbak perawat. Jaga malam selalu menyenangkan. Sepi, banyak waktu untuk mempelajari kasus-kasus baru, dan terutama bisa ke UGD buat meriksa pasien. Saya selalu suka UGD. Tension yang tinggi selalu membuat saya merasa hidup. Pantas saja masalah selalu tidak pernah habis terjadi dalam hidup saya. Supaya saya tetap terus merasa hidup.

Pagi ini saya ingin bercerita mengenai seorang sahabat saya. Sebut saja namanya Arjuno. Tentu saja ini bukan nama sebenarnya. Saya pakai nama itu karena bulan depan saya berencana naik gung Arjuno. Norak? Well, maybe it was my middle name. Balik ke si Arjuno tadi. Dia ini salah seorang konco baik saya. Temenan sejak awal kuliah hingga sekarang. Mulai dari malam minggu berdua kayak pasangan homo, sampai nemenin ke Bandung Selatan demi ngasi coklat en bunga mawar untuk salah seorang cewek kecengan saya beberapa tahun silam (Yang tetep aja ngenes hasilnya). Mulai dari berantem sampe maki-maki en nunjuk muka hingga jalan keluar kota berdua demi menjumpai seorang kecengan saya yang lain. Well, sudah 9 tahun ya? Katanya ahli psikologi yang belum saya cek kebenarannya, jika persahabatan sudah melewati usia 6 tahun, persahabatan itu akan abadi. Semoga benar deh.

Jadi gini. Tadi malam saya sedang tidur. Hp saya berdering. Muncul nama makhluk ini. Ngga mungkin dia menelpon demi nanyain bagaimana situasi gang Dolly pasca deklarasi penutupan oleh pemkot Surabaya. Pasti ada sesuatu. Dan ternyata benar. He needs his buddy. Dia share mengenai kegagalannya untuk meneruskan studi program pendidikan spesialis di salah 1 universitas negeri. Intonasi suaranya membuat saya dapat membayangkan bagaimana ekspresi wajahnya saat itu. Sebenernya saya juga bingung mau kasi kata-kata peneguhan apa. Yang keluar cuma kalimat-kalimat rohani. Dan ujung-ujungnya tetap ngajak ketawa. At the end of our conv, i promise him that i'll call him tomorrow morning, which is today. And i did.

Kalau keadaannya seperti ini, sebagai seorang teman yang baik saya harus memberikan perhatian ekstra agar dia tau kalo dia punya teman yang bisa diajak tukar pikiran. Berlebihan? Rasanya tidak. Saya justru merasa tersanjung menjadi teman yang dia percayai untuk bercerita. Malam-malam diganggu untuk mendengar pergumulan dan kegelisahan seorang teman itu selalu saya anggap sebagai blessing dan ujian. Apakah saya benar-benar punya hati yang tulus sebagai seorang teman. Bayangkan deh. Kalau kamu lagi berbeban berat, dan bingung mau cerita ke siapa. Mau cerita ke si ini sungkan, takut ngeganggu. Wah, kalau masih sungkan mengganggu teman, berarti belum karib benar hubungannya. Pun, yang tidak mau diganggu. Suam-suam kuku pertemanannya. Iya ngga sih? Menurut saya iya. Ngga tahu ya kalau mas Anang..

Intinya saya mau ngomong apaan yak?

Well, untuk kali ini kalian tarik sendiri deh ya. Sekali-kali saya ajak kalian untuk menguntai sendiri pesan moral tulisan saya pagi ini. Saya sudah kadung ngantuk pol. Mana ditambah stres gara-gara batal ikut nonton konser Jazz di Gunung Bromo karena salah request jadwal jaga, bikin saya kehilangan girus-girus otak di lobus frontalis et temporalis. Saya mau tidur nyenyak... *Esilgan mana Esilgan?*


Surabaya, 20 Juni 2014


Rabu, 04 Juni 2014

Tulisan opo iki?

Akhir pekan kemarin saya baru pulang hiking ke gunung Panderman di Batu. Ga jelas juga sih ini gunung atau bukit. Kalau merujuk dari beberapa sumber, Panderman yang memiliki ketinggian 2045 meter dpl ini dikategorikan gunung, meski tidak memiliki kawah. Jika demikian, boleh lah saya berbangga hati menyatakan saya pernah menaiki gunung ini.

Bercerita tentang pengalaman naik gunung, sensasi nya tentu saja luar biasa. Apalagi jika rute yang ditempuh luar biasa curam dan sulit. Bertarung melawan diri sendiri benar-benar menjadi sebuah perjuangan ketimbang bertahan terhadap kelelahan dan kehausan. Apalagi kalau sudah sampai atas, yang ada Cuma kepuasan dan kebanggaan. Buat saya. Buat kebanyakan orang tentu saja menganggap sebagai suatu kegiatan yang membuang-buang waktu dan tenaga. Biar saja. Setiap kita punya kesenangannya masing-masing, bukan?

Awalnya saya hanya berdua dengan seorang sahabat yang saya kenal semasa berkuliah di kampus saya di Bandung dulu. Tapi sesampainya di pintu gerbang gunung Panderman itu, ternyata ada rombongan dari Kediri yang memiliki niatan yang sama. Maka bergabunglah kami bersama mereka. Jangan ditanya apakah mereka seru atau tidak. Baik atau tidak. Sebagai sesama pecinta alam, satu hal yang pasti adalah kita bisa sama-sama asyik. Tidak percaya? Kapan-kapan ikut saja saya.

Saya cukup puas di gunung Panderman ini. Saya punya waktu merenung dan berdiam diri. Betapa selama beberapa waktu ke belakang pikiran dan hati saya sudah terkuras untuk hal yang cukup substansial. Masalah harga diri dan perasaan. Dan melarikan diri ke gunung adalah salah satu terapinya. Well, cukup berhasil. Semoga ini tidak hanya bertahan dalam beberapa hari ini.

Sebenarnya, akhir pekan sebelumnya saya juga sudah berlibur ke Karimun Jawa, Jawa Tengah. Berenang di pantai dan snorkling juga cukup membantu saya mengatasi kepenatan. Tapi menilik sebuah quote yang mengatakan bahwa di puncak gunung dapat melepaskan dendam dan sakit hati, saya pikir patut dicoba juga. Menyimpan sakit hati terlalu lama bikin saya makin kurus.


Ah, saya tidak mengerti mau dibawa kemana tulisan ini. Mungkin sebagai upaya supaya otak saya bisa terus berpikir saja. Lagipula, saya sedang bersiap-siap kembali ke Batu untuk Rafting besok. Liburan lagi? Trus kenapa? Salah gue? #nyolot


Surabaya, 4 juni 2014
Sesaat sebelum jam kerja berakhir dan pasien dalam keadaan tenang diruangan...