Minggu, 07 Desember 2014

8 Desember

01.52 WIB

Saya sedang jaga malam. Puji Tuhan, keadaan di RS dalam situasi yang tenang. Saya jadi keinget blog ini yang sudah lama dianggurin. Kasian. Kaya kejombloan gue. Eh, lebih ngenes yang kedua sih.

Ada banyak hal yang bisa saya tulis sebenernya. Mulai dari topik-topik yang nggak penting kaya politik. Sampai hal yang sangat esensial dalam hidup : Waktu bokir yang tepat di RS. Ojok serius,mas/mbak. Saya pun sebenarnya bingung hendak menulis apa. Tapi saya perlu menulis. Saya butuh terapi. So, let me think for a second.

.......................think...........!

Desember.

Sebagian besar orang Kristen selalu senang menyambut bulan terakhir di kalender masehi ini. Perayaan Natal sudah menanti. Gereja-gereja pun sudah sibuk dengan pelbagai selebrasi dan dekorasi. Saya pun demikian. Saya sendiri sudah mengajukan ijin cuti untuk pulang akhir Desember nanti. Saya ingin menikmati malam Tahun Baru bersama keluarga di Pontianak. Sudah bertahun-tahun saya tidak kebaktian bareng. Jangan ditanya berapa besar rindunya. Rindu sekali. Terutama bagi kalian yang terbiasa kumpul bersama keluarga.

Ngomong-ngomong soal perayaan Natal, beberapa waktu yang lalu saya mendengar sebuah lagu Natal baru. Dinyanyikan oleh sebuah grup yang sangat terkenal. Lagu ini sangat bagus. Saya suka mendengarnya. Untuk lebih menikmati lagu ini, saya pun mencari liriknya. Seperti biasa, mbah Google selalu membantu. Setelah saya perhatikan liriknya, lagu ini lantas tidak menarik perhatian saya lagi. Sebab tidak ada menyinggung sedikitpun tokoh utama di balik adanya perayaan Natal ini, Tuhan Yesus.

 The fireplace is burning bright, shining all on me
I see the presents underneath the good old Christmas tree
And I wait all night 'til Santa comes to wake me from my dreams
Oh, why? 'Cause that's Christmas to me

I see the children play outside, like angels in the snow
While mom and daddy share a kiss under the mistletoe
And we'll cherish all these simple things wherever we may be
Oh, why? 'Cause that's Christmas to me

I've got this Christmas song in my heart
I've got the candles glowing in the dark
I'm hanging all the stockings by the Christmas tree
Oh, why? 'Cause that's Christmas to me
Oh, why? 'Cause that's Christmas to me

I listen for the thud of reindeer walking on the roof
As I fall asleep to lullabies, the morning's coming soon
The only gift I'll ever need is the joy of family
Oh, why? 'Cause that's Christmas to me

I've got this Christmas song in my heart (song in my heart)
I've got the candles glowing in the dark
I'm hanging all the stockings by the Christmas tree
Oh, why? 'Cause that's Christmas to me
Oh, why? 'Cause that's Christmas to me

Ooooohhhhoooohhooohhh
Ooooohhhhoooohhooohhh

Oh, the joy that fills our hearts and makes us see
Oh, why? 'Cause that's Christmas to me

I've got this Christmas song in my heart
I've got the candles glowing in the dark
And then for years to come we'll always know one thing
That's the love that Christmas can bring
Oh, why? 'Cause that's Christmas to me


Jangankan kata Tuhan Yesus. Penekanan kalimat dalam lagu ini terpusat ke sukacita akan selebrasi semata. Segala atribut dan ornamen natal, juga tentang hal-hal standar yang terjadi selama Natal. Begitu Amerika. Tidak, saya tidak sinis akan hal ini. Saya pun menikmati semuanya. Hanya saja, Natal sekarang ini memang seperti berbeda arah fokusnya.

Saya teringat kata seorang Pendeta di persekutuan doa RS tempat saya bekerja beberapa waktu yang lalu.

"Percayalah, kalau Tuhan Yesus datang di Natal ini ke gerejamu, kamu tidak akan senang. Dia akan mengganggu semua perayaanmu. Semua kenyamananmu seputar Natal akan Dia ganggu. Kamu tidak akan suka..."

Saya berpikir, benar juga. Bayangkan, jika Tuhan Yesus datang dan meminta semua pohon natal yang gemerlap itu dibuang. Hiasan warna-warni merah dan hijau Dia minta diturunkan. Lagu-lagu Natal diganti lagu-lagu Himne yang membuat ngantuk. Dengan tambahan catatan, semua lagu himne itu harus tentang pemujaan terhadap diriNya. Lagu-lagu rohani tentang pergumulanmu? "Oh, please deh. Ini perayaan Gue, keleus!" (anggap aja Dia berkata demikian). Oh ya, Dia juga datang dengan baju kecel dan bau. Dia mau duduk di depan, dan jalan masuknya mungkin nanti akan ada banyak darah. Hmmm, imajinasi yang agak luar biasa juga. Tapi bayangkan saja. Nyamankah kamu? Saya sendiri tidak.

Tapi mari kita kembali fokus ke dasar dari perayaan Natal ini. Iya juga sih ya. Ini tentang Dia. Tamunya Dia, tokoh utamanya ya Dia juga. Suka-sukaNya Dia aja mau gimana. Jadi, saya dan kamu tidak boleh protes. Arrrgh! Kalau begitu, Tuhan Yesus ga boleh dateng. Natal kali ini bukan soal Tuhan Yesus. Ini seputar liburan dan kumpul keluarga saja. Juga seputar dekorasi dan hadiah Natal. Acara buat Tuhan Yesus ntar aja pas Paskah.

Well, menyedihkan ya?

Jumat, 22 Agustus 2014

Ulang Tahun

21 Agustus 2014

Tanggalan diatas bukanlah tanggalan hari ini. Kalian juga tau, itu adalah hari kemarin. Dan saya berulang tahun kemarin. Ah, peringatan akan ulang tahun selalu membuat saya merasa tua.

Ya. Kemarin usia saya genap 28 tahun. Sungguh usia yang sudah tidak lagi muda. Usia yang seharusnya sudah menunjukkan kemapanan, dalam karir dan keluarga. Benar saya sudah memiliki pekerjaan tetap. Yang sangat menyenangkan dan menyukakan hati. Tapi poin kedua, masalah keluarga, saya masih belum mantap. Bukan, bukan saya merasa merana akan kesendirian ini. Tapi memiliki pekerjaan bagus tanpa dibarengi adanya keluarga yang saya hidupi atau menjadi pertanggungjawaban saya sebagai lelaki sebagai kepala keluarga, rasanya memang kurang klop. Tapi biarlah itu menjadi urusan saya dengan Tuhan.

Merayakan ulang tahun tidak dirumah sudah sering saya alami. Mengingat bertahun-tahun saya merasakan 'perayaan' ulang tahun semasa masih menemba ilmu untuk menjadi seorang dokter di Bandung dulu. Pun, tak jauh berbeda dengan sekarang ketika saya sudah merantau (lagi) di Surabaya.Rasanya sih sama saja ya. Cuma memang tidak bersama teman-teman lama. Tapi bersama teman-teman baru pun cukup menggembirakan.

Saya banyak mengalami hal yang menurut saya mengena di hati di ulang tahun saya ini. Mulai dari kejutan cupcake jam setengah 3 pagi oleh seorang teman, editan gambar-gambar (saya pajang dibawah), hingga telpon dari teman-teman dekat. Saya merasa masih diingat dan dikasihi. Dan itu sangat baik. Saya merasa berhutang pada Tuhan.

Ucapan pertama datang dari teman baik saya di Singapura melalui Line. Kecepetan memang mengucapkannya, tapi saya hargai betul kewaspadaannya untuk tidak melewatkan memberi ucapan. Thanks, dude. Ucapan pertama berikutnya melalui dunia nyata datang dari seorang teman yang membawa cupcake berbentuk monyet jam setengah 3 pagi. Entah kenapa harus monyet. Dan saya dipaksa pula menghabiskannya saat itu juga. Meskipun demikian, saya tetap tersentuh.

Ucapan pertama berikutnya melalui whatssap datang dari seorang gadis yang saya puja (dan saya doakan). Jam 04.42 mengirim ucapan dan voicenote. Suaranya selalu bagus dan mendamaikan hati. Ditambah gambar editannya membuat saya merasa spesial. Semoga bukan kaya martabak. Yang terasa enaknya ketika masih hangat, tapi ketika dingin menjadi martabak yang tak dianggap. #loh?

Masih soal ucapan pertama, kali ini via telpon. Seorang sahabat baik saya yang berdomisili di Malang juga tak lupa mengucapkan selamat atas tuanya saya. Dia dengan sindiran dan hinaan nya, yang buat saya adalah bentuk perhatian. Hahahaha

Berikutnya saya tidak bisa merunut lagi ucapan-ucapan via BBM, Facebook, dan Path. Jejaring sosial memang menakjubkan. Domisili dan jarak yang berbeda tidak menghalangi mereka untuk menunjukkan cinta dan atensi. Kemajuan jaman tidak selamanya membawa pengaruh yang negatif.

Semua orang-orang terdekat saya, dan orang-orang yang saya kasihi sudah menyampaikan ucapannya. Keluarga dan Teman-teman. Dan itu sudah cukup. Doa saya, semoga kalian semua senantiasa dalam kasih dan kebaikan Tuhan. Dan semoga kalian juga bersyukur memiliki saya sebagai teman, saudara, dan sahabat.

 Pic 1 : Saya dan Vanya, keponakan yang cantik. Diunggah oleh abang saya
 Pic 2 : Pak Poyo. Saya merayakan malam pergantian usia ditemani gitar dan lagu Batak bersamanya
 Pic 3 : Cupcake dari seorang teman
 Pic 4 : Tidak perlu saya jelaskan, kan? ^^
 Pic 5 : Bersama drg. Ines. Salah seorang teman baik yang luar biasa (gilanya) :p
 Pic 6 : Editan seorang teman
 Pic 7 : Ucapan dari adik perempuan saya

Pic 8 : Editan dari saudara KTB 

Tuhan baik. Dan selalu ada alasan untuk bersyukur....


Surabaya, 22 Agustus 2014
RS. Premier Surabaya



Jumat, 04 Juli 2014

Gunung Arjuno





Sore ini saya akan mendaki gunung bersama atasan dan teman. Seperti yang kalian lihat diatas. Itulah perlengkapan saya untuk mendaki gunung Arjuno sore nanti. Gunung di Malang, Jawa Timur ini memiliki ketinggian 3.339 mdpl. Ah, saya benar-benar tidak sabar.

Mendaki gunung ataupun sekedar hiking merupakan salah satu hal yang melekat pada jiwa saya. Melihat keajaiban alam ciptaan Tuhan membuat saya bisa bertafakur untuk merenungkan bahwa saya tidak ada apa-apanya dibanding Tuhan dan sesama. Kerendahan hati adalah salah 1 hal yang terus saya pelajari agar saya dapat hidup lebih tenang dan damai.

Saya tahu, kamu dan saya mungkin memiliki perspektif yang berbeda dalam menjalani hidup. Tapi kapan-kapan saya ingin mengajak kamu masuk dalam perspektif saya di dunia saya ini. Dunia yang seolah keras dan rumit, namun kepetualangan didalamnya dapat membuat antusiasme dan rasa ingin tahu terbakar. Tentu, saya pun tidak akan menampik ajakan kalian masuk dalam perspektif kalian.

Tanggal 8 Agustus nanti saya berencana ke Ranu Kumbolo bersama karyawan RS. Mungkin kalian tertarik bergabung bersama saya? ^^

Tulisan yang super duper penting ini dipersembahkan dalam ketidaksabaran mendaki..


Surabaya, 4 Juli 2014

Saya, pasien, dan politik

Selamat siang..

Tidak terasa, 5 hari lagi bangsa dan negara kita akan memasuki salah 1 momen yang penting dalam menentukan masa depan bangsa dan negara ini. Ini bukan kali pertama saya mengikuti pemilihan presiden. Lima tahun yang lalu ketika masih berada di Bandung pun saya ikut berpartisipasi dalam memberikan suara. Tapi terasa benar bedanya. Kali ini suasana riuh dan gegap gempita benar-benar terasa. Pun, semangat yang terusung. Benar-benar beda.

Contohnya, ketika hari Minggu kemarin saya mengurus formulir untuk pemilu di kantor KPU Surabaya, saya benar-benar terpukau. Betapa tidak. Begitu ramai orang-orang yang mengantri untuk dapat berpartisipasi dalam memilih. Mulai dari yang membawa mobil mewah hingga motor biasa seperti saya. Mulai dari Ibu-ibu berjilbab panjang hingga remaja menggunakan tanktop. Semuanya begitu antusias dalam berpartisipasi. Entah siapapun calon yang mereka jagokan. Lima tahun yang lalu ketika saya sibuk mengurus kartu pemilih di Bandung, tidak ada tuh antrian panjang. Bahkan teman-teman dekat saya pun semuanya memiliki keputusan yang sama : Tidak akan memilih.

Keramaian ini tidak hanya ada di dunia nyata. Di dunia maya, melalui jejaring sosial pun begitu gegap gempita. Terutama di facebook. Saya yang awalnya tidak terlalu tertarik untuk berkomentar pun menjadi semangat untuk memberikan opini. Tapi efeknya memang benar-benar dahsyat. Saya harus kehilangan beberapa teman hanya karena berbeda pendapat dengan mereka. Pilihan yang berbeda tanpa disertai kebesaran hati membawa konsekuensi yang harus saya terima.

Kesemuanya itu bukan terjadi karena perbedaan yang saya dan mereka miliki. Tanpa momen pemilihan ini pun, baik saya dan mereka sudah banyak memiliki perbedaan. Namun yang membuat saya merasa miris adalah ketika menyadari bahwa mereka, yang saya putuskan tidak lagi menjadi bagian dalam lingkup pertemanan saya secara sepihak, ternyata memiliki hati yang tidak baik. Dan itu tidak baik untuk perkembangan mental saya.

Mungkin kalian berpendapat saya terlalu sombong dan terlalu gampang dalam menilai. Tapi ijinkanlah saya bertanya. Apakah kita diperkenankan mengatakan kata-kata kasar yang bahkan kata-kata kasar ini ditujukan kepada orang yang tidak berkontribusi negatif dalam hidup kita langsung? Atau menuliskan opini-opini mereka yang kesemuanya baru sebatas opini semata, namun dibalut kutipan-kutipan dari sumber-sumber yang tidak dapat dipercaya dengan sangat tendensius dan berkata bahwa itulah kebenaran yang hakiki? Dalam pada itu, saya menemukan bahwa ada beberapa teman-teman saya yang berhati seperti demikian.

Saya baru saja (tadi pagi) berdiskusi dengan seorang pasien hemodialisis (cuci darah). Kita sebut saja pak Untung. Beliau ini pasien lama di RS tempat saya bekerja. Dan saya sudah sering berdiskusi dengan beliau. Tentang budaya, tentang politik, tentang pasangan hidup. Awalnya beliau menanyakan perkembangan kemampuan bahasa jawa saya, yang diteruskan dengan dorongannya agar saya mencari pasangan hidup dari suku Jawa (Ah, semoga saja dia membaca tulisan saya ini). Tapi pada akhirnya kami mendiskusikan soal capres. Dan jelas, kami memiliki perbedaan dalam menentukan siapa capres yang menurut kami terbaik.

Kami tidak memiliki kesepahaman dalam banyak hal. Latar belakang kedua capres, timses mereka, hingga masa depan negara ini dalam beberapa tahun ke depan, tidak ada 1 hal pun yang sependapat. Kami berdiskusi sekitar 1 jam. Yang harus saya akui, pak Untung ini memang seorang yang cerdas. Pengetahuannya mengenai sepak terjang kedua capres, berikut tokoh-tokoh politik benar-benar memukau saya. Mulai dari Soekarno hingga Ali Moertopo. Mulai dari Prabowo masa kanak-kanak hingga karakter Jokowi. Semuanya membuat saya terpesona. Pantas saja saya menikmati waktu kami berdua.

Yang membuat saya menikmati perdebatan itu adalah, dalam ketidaksepahaman dan perbedaan pandangan yang kami miliki, kami berdua sama-sama mau mendengar pendapat satu sama lain. Kami berdua sama-sama dengan rendah hati mau mengiyakan kebenaran yang muncul dari argumentasi yang ada tanpa melepaskan kepercayaan yang kami punya masing-masing. Yang paling penting, kami berdua sama-sama bisa tertawa.

Saya terpaksa harus mengakhiri perdebatan siang itu karena harus berkeliling memeriksa pasien kembali. Tapi perasaan yang saya bawa setelah perdebatan itu bukanlah perasaan negatif hanya karena saya dan beliau berbeda pilihan. Tapi rasa puas bahwa saya memiliki lawan debat yang capable, rendah hati (bayangkan usianya yang sudah sepuh, tapi masih dapat bersabar berargumen dengan saya yang masih bau kunyit), serta selera humor nya yang baik. Sangat berbeda ketika saya beradu debat dengan teman-teman di facebook. Perasaan yang saya bawa adalah perasaan kesal dan penuh emosi karena kesikukuhan dalam mempertahankan pendapat dan tidak mau dengar-dengaran.

Saya sangat berharap sekali bahwasanya saya memiliki banyak teman-teman debat yang seperti beliau. Yang walaupun memiliki pandangan yang berbeda, namun masih dapat berkelakar setelahnya. Bukan hanya soal capres ini saja. Tapi dalam berbagai aspek.


Surabaya, 4 Juli 2014

Tulisan ini saya dedikasikan untuk seorang teman baik saya, ko Santo Fadjaray. Seorang teman diskusi dan debat yang luar biasa. Dalam banyak perbedaan pandangan yang kami miliki, kami masih dapat tertawa dan menghabiskan beberapa batang rokok hanya untuk mentertawai satu sama lain. Tuhan memberkatimu,ko.. ^^

Kamis, 19 Juni 2014

Sahabat dan PPDS

Selamat pagi..

Wah, sudah lama juga saya tidak menulis. Terlalu sibuk dolanan dan kerja (baca : ngecengin perawat). Bisa usang juga ni blog lama-lama kalau tidak disambangin pemiliknya.

Saya baru saja selesai jaga malam. Tadi malam pasien di UGD lumayan rame. Untungnya pasien di ruangan tidak seberapa rempong. Jadi masih sempat ngelirik bola dan curcol-curcol sama mbak-mbak perawat. Jaga malam selalu menyenangkan. Sepi, banyak waktu untuk mempelajari kasus-kasus baru, dan terutama bisa ke UGD buat meriksa pasien. Saya selalu suka UGD. Tension yang tinggi selalu membuat saya merasa hidup. Pantas saja masalah selalu tidak pernah habis terjadi dalam hidup saya. Supaya saya tetap terus merasa hidup.

Pagi ini saya ingin bercerita mengenai seorang sahabat saya. Sebut saja namanya Arjuno. Tentu saja ini bukan nama sebenarnya. Saya pakai nama itu karena bulan depan saya berencana naik gung Arjuno. Norak? Well, maybe it was my middle name. Balik ke si Arjuno tadi. Dia ini salah seorang konco baik saya. Temenan sejak awal kuliah hingga sekarang. Mulai dari malam minggu berdua kayak pasangan homo, sampai nemenin ke Bandung Selatan demi ngasi coklat en bunga mawar untuk salah seorang cewek kecengan saya beberapa tahun silam (Yang tetep aja ngenes hasilnya). Mulai dari berantem sampe maki-maki en nunjuk muka hingga jalan keluar kota berdua demi menjumpai seorang kecengan saya yang lain. Well, sudah 9 tahun ya? Katanya ahli psikologi yang belum saya cek kebenarannya, jika persahabatan sudah melewati usia 6 tahun, persahabatan itu akan abadi. Semoga benar deh.

Jadi gini. Tadi malam saya sedang tidur. Hp saya berdering. Muncul nama makhluk ini. Ngga mungkin dia menelpon demi nanyain bagaimana situasi gang Dolly pasca deklarasi penutupan oleh pemkot Surabaya. Pasti ada sesuatu. Dan ternyata benar. He needs his buddy. Dia share mengenai kegagalannya untuk meneruskan studi program pendidikan spesialis di salah 1 universitas negeri. Intonasi suaranya membuat saya dapat membayangkan bagaimana ekspresi wajahnya saat itu. Sebenernya saya juga bingung mau kasi kata-kata peneguhan apa. Yang keluar cuma kalimat-kalimat rohani. Dan ujung-ujungnya tetap ngajak ketawa. At the end of our conv, i promise him that i'll call him tomorrow morning, which is today. And i did.

Kalau keadaannya seperti ini, sebagai seorang teman yang baik saya harus memberikan perhatian ekstra agar dia tau kalo dia punya teman yang bisa diajak tukar pikiran. Berlebihan? Rasanya tidak. Saya justru merasa tersanjung menjadi teman yang dia percayai untuk bercerita. Malam-malam diganggu untuk mendengar pergumulan dan kegelisahan seorang teman itu selalu saya anggap sebagai blessing dan ujian. Apakah saya benar-benar punya hati yang tulus sebagai seorang teman. Bayangkan deh. Kalau kamu lagi berbeban berat, dan bingung mau cerita ke siapa. Mau cerita ke si ini sungkan, takut ngeganggu. Wah, kalau masih sungkan mengganggu teman, berarti belum karib benar hubungannya. Pun, yang tidak mau diganggu. Suam-suam kuku pertemanannya. Iya ngga sih? Menurut saya iya. Ngga tahu ya kalau mas Anang..

Intinya saya mau ngomong apaan yak?

Well, untuk kali ini kalian tarik sendiri deh ya. Sekali-kali saya ajak kalian untuk menguntai sendiri pesan moral tulisan saya pagi ini. Saya sudah kadung ngantuk pol. Mana ditambah stres gara-gara batal ikut nonton konser Jazz di Gunung Bromo karena salah request jadwal jaga, bikin saya kehilangan girus-girus otak di lobus frontalis et temporalis. Saya mau tidur nyenyak... *Esilgan mana Esilgan?*


Surabaya, 20 Juni 2014


Rabu, 04 Juni 2014

Tulisan opo iki?

Akhir pekan kemarin saya baru pulang hiking ke gunung Panderman di Batu. Ga jelas juga sih ini gunung atau bukit. Kalau merujuk dari beberapa sumber, Panderman yang memiliki ketinggian 2045 meter dpl ini dikategorikan gunung, meski tidak memiliki kawah. Jika demikian, boleh lah saya berbangga hati menyatakan saya pernah menaiki gunung ini.

Bercerita tentang pengalaman naik gunung, sensasi nya tentu saja luar biasa. Apalagi jika rute yang ditempuh luar biasa curam dan sulit. Bertarung melawan diri sendiri benar-benar menjadi sebuah perjuangan ketimbang bertahan terhadap kelelahan dan kehausan. Apalagi kalau sudah sampai atas, yang ada Cuma kepuasan dan kebanggaan. Buat saya. Buat kebanyakan orang tentu saja menganggap sebagai suatu kegiatan yang membuang-buang waktu dan tenaga. Biar saja. Setiap kita punya kesenangannya masing-masing, bukan?

Awalnya saya hanya berdua dengan seorang sahabat yang saya kenal semasa berkuliah di kampus saya di Bandung dulu. Tapi sesampainya di pintu gerbang gunung Panderman itu, ternyata ada rombongan dari Kediri yang memiliki niatan yang sama. Maka bergabunglah kami bersama mereka. Jangan ditanya apakah mereka seru atau tidak. Baik atau tidak. Sebagai sesama pecinta alam, satu hal yang pasti adalah kita bisa sama-sama asyik. Tidak percaya? Kapan-kapan ikut saja saya.

Saya cukup puas di gunung Panderman ini. Saya punya waktu merenung dan berdiam diri. Betapa selama beberapa waktu ke belakang pikiran dan hati saya sudah terkuras untuk hal yang cukup substansial. Masalah harga diri dan perasaan. Dan melarikan diri ke gunung adalah salah satu terapinya. Well, cukup berhasil. Semoga ini tidak hanya bertahan dalam beberapa hari ini.

Sebenarnya, akhir pekan sebelumnya saya juga sudah berlibur ke Karimun Jawa, Jawa Tengah. Berenang di pantai dan snorkling juga cukup membantu saya mengatasi kepenatan. Tapi menilik sebuah quote yang mengatakan bahwa di puncak gunung dapat melepaskan dendam dan sakit hati, saya pikir patut dicoba juga. Menyimpan sakit hati terlalu lama bikin saya makin kurus.


Ah, saya tidak mengerti mau dibawa kemana tulisan ini. Mungkin sebagai upaya supaya otak saya bisa terus berpikir saja. Lagipula, saya sedang bersiap-siap kembali ke Batu untuk Rafting besok. Liburan lagi? Trus kenapa? Salah gue? #nyolot


Surabaya, 4 juni 2014
Sesaat sebelum jam kerja berakhir dan pasien dalam keadaan tenang diruangan...

Selasa, 27 Mei 2014

Sahabat dan gunung Panderman

Selamat malam. Sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis di blog ini. Weekend kemarin saya baru pulang dari Karimun Jawa. Pantai yang luar biasa indah. Oh, bintang yang luar biasa indah pula ketika malam tiba. Nanti akan saya tulis dalam 1 tulisan setelah tulisan saya ini. Saya tidak ingin merusak indahnya Karimun Jawa dengan topik tulisan kali ini yang agak sentimentil. Cerita Karimun Jawa akan lebih grande. Tenang saja.

Kalian mungkin bertanya, gambar apa di atas. Akan saya jelaskan. Itu adalah gambar pemandangan yang terlihat dari gunung Panderman, di kota Batu, Malang. Tingginya sekitar 2045 meter, dengan puncak Basundara. Dari atas kita bisa melihat pemandangan gunung Arjuno dan Welirang. Demikian sekilas info tentang Panderman. Mari masuk ke topik utama.

Saya berencana naik ke gunung itu dan kemping bersama seorang sahabat saya, weekend besok. Awalnya saya berencana ke Ranu Kumbolo, suatu tempat yang bisa disejajarkan keindahannya dengan danau-danau di Swiss. Tapi berhubung proses perijinan dan segala hal yang cukup ribet, sahabat saya ini menawarkan untuk mengganti destinasi gunung yang ingin saya sambangi. Berikut dengan tawaran menemani menaiki dan kemping bersama saya. Dia tau benar bahwa saya sedang gundah.

Saya tidak ingin menafikan diri bahwa saya adalah pria yang kuat. Yang bisa bertahan terhadap peliknya dan kentalnya drama hidup ini. Kepribadian saya yang kental akan sisi melankolis ketimbang sanguin nya, berkontribusi besar dalam cara saya menghadapi masalah. Salah satunya adalah dengan menyepi. Mengambil waktu sendiri untuk pause and pondering cukup sahih membantu saya menemukan kembali diri saya. Sahabat saya ini mengerti betul hal itu. Saya bersyukur atas kehadirannya.

Dia ini bukan hanya sekedar membantu mencari solusi. Dia yang mengurus semua informasi yang saya butuhkan. Mulai dari travel ke Malang hingga gambar-gambar yang bisa membantu saya menemukan gambaran gunung yang akan didaki kali ini. Saya percaya, Tuhan sangat sayang pol kepada bocah hitam ini.

Ketika saya tidak mampu berdamai dengan diri sendiri dan menemukan kedamaian di jiwa,menyendiri dan ditemani seorang teman yang karib, rasanya jauh lebih logis dalam upaya mencari solusi ketimbang melarikan diri ke gelapnya dunia malam dan dangkalnya cinta sesaat. Setidaknya, tidak menimbulkan masalah baru.

Note. Saya bersama Putra Egam. Pria hitam multitalenta, yang baru saja menjadi sarjana psikologi. Usianya jauh lebih muda daripada saya. Tapi pemahamannya akan hidup dapat menjamin kualitasnya sebagai pria idaman wanita. Bagi wanita yang berminat, dapat menghubungi saya. Untuk Putra, "Bro, nih gw promosiin elo. Semoga ya bro. Semoga lo diberkati dapet cewe baru. Hahahaha"


Surabaya, 27 Mei 2014
Kamar kosan. Diantara tas kemping dan susu Greenfield.

Senin, 19 Mei 2014

Syukur



Kemarin saya gereja sore. Hal yang biasa saya lakukan jika Minggu pagi saya bertugas di RS atau ada seminar kedokteran. Seharusnya sih saya ke gereja GKI di daerah Manyar. Saya merasa nyaman bergereja disana. Namun berhubung saya masih shock kejadian minggu lalu, akhirnya saya bergereja di Bethany Nginden, karena dekat dari kosan.

Saya sering memang bergereja disini. Cuma untuk beberapa alasan, saya tidak menjadi jemaat tetap disini. Selain karena gereja ini terlalu besar dan ramai, sejak kecil saya terbiasa dengan gereja konservatif (presbyterian).

Ada 1 lagu yang dinyanyiin di awal kebaktian kemarin. Saya tidak tahu lagu siapa dan judulnya apa (Belakangan saya baru tau kalo judulnya : Ajaib Kau Yesus dan diciptakan oleh Welyar Kauntu). Tapi liriknya yang sangat mengena buat saya berbunyi demikian :

"Banyaklah yang t'lah Kau buat dalam hidupku. Ku mau bersyukur, kumemujiMu. Dengan apa kudapat membalas kasihMu.."

Ah, saya benar-benar tidak dapat menahan diri saya untuk menahan emosi. Saya menangis bercucuran airmata. Hati saya bergejolak. Semua perasaan bercampur-baur. Haru, bersyukur, senang, sedih.

Dalam hidup saya kebelakang ini, saya telah banyak mengalami banyak hal. Hal baik maupun buruk. Perkara senang maupun sedih. Dalam kesemua yang terjadi itu, jiwa saya menyadari bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan saya. Bahkan, ketika doa-doa saya tidak terjawab sebagaimana yang saya inginkan, penguatan dan kebesaran hati selalu diberikan. Tapi rasa haru kali ini terutama lebih kepada rasa syukur dalam kerendahan hati saya. Terutama sejak saya hijrah ke Surabaya.

Sejak hari pertama menginjakkan kaki di Surabaya dalam proses wawancara untuk diterima bekerja di RS, Tuhan telah melakukan banyak perkara yang tidak teruraikan dimana letak kelogisannya oleh otak saya yang terbatas. Hari-hari berikutnya hingga bulan ke 6 ini pun saya masih terkesima dengan cara kerja-Nya Tuhan. Suatu hari nanti akan saya bagikan cerita-cerita itu. Seseorang yang dekat dengan saya berkata,
"Surabaya ini Betlehem buat kamu. Di kota ini Tuhan akan terus melakukan banyak hal buatmu..."

Rasanya ingin terus tinggal di kota ini. Dan terus merasakan limpahan berkat-berkat Tuhan. Tapi untuk satu dan dua alasan, saya tidak bisa berlama-lama disini. Kadang, jika memikirkan saya pindah (lagi), ada kekuatiran bahwa berkat Tuhan di kota lain itu tidak seperti yang terjadi di Surabaya ini. Tapi Tuhan bukanlah pribadi yang terbatas. Dan ketidakterbatasan Nya itu tentu saja tidak memandang kota mana saya tinggal. Hal yang cukup melegakan.

Hal itulah yang membuat saya tidak bisa menahan haru menyatakan syukur saya kepada Tuhan. Adik saya berkata, "Abang saat ini sedang menuai apa yang sudah abang lakukan buat orang lain. Abang sudah baik sama orang-orang, jadi sekarang saatnya abang merasakan itu...". Well, i never did something good to get good. Instead, i do good cos i want to. Beside, as a christian, that was a command from God. So, maybe that is the reason why i still amazed of what was happened.

Surabaya, someday i'll leave. Maybe soon, maybe later. But if that time comes, let me say 'Thank you' to you, and to you ....


Surabaya, 19 Mei 2014

Kamis, 15 Mei 2014

Grace, Anak Sekolah Minggu saya (Dulu)

Selamat malam..

Kali ini saya tidak sempat untuk menulis postingan baru. Saya hanya ingin mengutip tulisan dari blog lama saya saja. Tulisan tentang seorang anak sekolah minggu saya, ketika saya masih menjadi guru sekolah minggu dulu di Bandung. Saya tiba-tiba saja teringat tentang pelayanan ini. Bahwa saya merindukan pelayanan sekolah minggu. Tapi bekerja dengan sistem shift mau tidak mau saya harus bisa melepaskan pelayanan itu. Saat ini pelayanan saya yang utama adalah di rumah sakit.

Ini adalah tulisan awal tahun 2013. Waktu itu gaya penulisan saya masih menggunakan LO-GUE dan berapi-api. Tidak sekalem sekarang ini. Mungkin waktu itu saya masih dalam fase labil. Ya, sekarang pun masih belum stabil sih. Ah, nikmati sajalah tulisan ini..

Di postingan perdana di tahun yang baru ini, gw mau mensharingkan tentang seorang anak sekolah minggu gue. Yeah, buat kalian yang belum tau, ini sekaligus jadi pengumuman bahwa gue adalah seorang guru sekolah minggu. Kaget ? Bagaimana mungkin gue yang dengan tampang mesum dan kelakuan absurd begini bisa jadi seseorang yang bertugas membawa anak-anak ke Jalan Kebenaran? Jalan setan, masih lebih masuk akal. Setidaknya begitulah komentar temen-temen gw. Gue kasi tau, teman. Ini masuk tahun ke 5 gue jadi laoshi di gereja gue di Bandung ini. Laoshi itu sebutan buat guru dalam bahasa Mandarin. Gereja gue gereja Chinese, pasalnya. Makin shock? Yuk, gw bantu kalian untuk masuk ke dalam decompensatio cordis (gagal jantung) ke cerita selanjutnya.

Tahun ajaran 2012-2013 ini gw megang kelas 2 SD. Total anak yang gue asuh itu 12 orang. Rata-rata manusia. Sebiji diantara mereka ada yang merupakan spesies Goblin. Kerjanya tukang bikin ribut terus. Ada juga yang langsung diimpor dari Madame Tussaud Museum. Bisa senyum sih, tapi terlalu pendiam. Ada juga yang terlihat begitu encim-encim. Baik dari busana maupun gaya bicara. Gue rasa, kalau dosen psikiatri memberi gue tes MMPI (Tes kepribadian yang terdiri dari 567 soal, dan hasilnya terdiri dari 14 lembar berupa grafik), deviasi status mental gue rasanya udah gak ketolong.

Tapi ada 1 anak yang khusus. Yang begitu spesial. Yang entah demi apa Tuhan memberi dia buat gue ajar lebih dari yang lain. Yang benar-benar membuat pelayanan gw tahun ini terasa lebih berbeban dan melelahkan ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

Nama anak ini Grace (bukan nama sebenarnya). Meskipun sudah kelas 2 SD, ternyata dia masih belum bisa membaca dan menulis. Jangankan menulis sebuah kalimat panjang, menulis sebuah kata saja sangat sulit baginya. Eh, jangankan kata, 3 bulan sebelum ini, ada beberapa huruf konsonan yang dia masih belum familiar. Stress ndak lo? Gw nggak. Gw depresi ringan-sedang. Gw mengetahui ketidakberesan ini ketika setiap kali gue meminta dia membuka ayat Alkitab, dia tidak pernah bisa. Hanya tersenyum saja. Awalnya gue pikir anak ini begitu pemalu. Tapi ternyata Grace ini memang belum bisa menemukan apa yang harus dia cari dalam kalimat.

Hasrat superhero yang gak kesampaian sejak kecil pun muncul dalam diri gue.”Gue harus bisa ngajarin dia membaca!”. Itu yang gue bilang sama diri sendiri. Meski tidak dibarengin tangan mengepal keatas dan bilang “Yes!” sambil lutut ditekuk sih. Maka, ketika kelas sekolah minggu sudah berakhir, gw meminta Grace untuk tetap tinggal sebentar di kelas. “Grace.. Nanti sampein sama mami kamu, kalo mulai minggu depan laoshi mau ajarin kamu membaca ya? Setengah jam saja sesudah sekolah minggu...”, demikian gw katakan sama Grace ini. Dia hanya mengangguk. Okeeey, beres! Minggu depan tinggal ajarin aja nih, pikir gw. Tapi yang namanya mulut manis sama kenyataan itu memang beda,kawan. Minggu depannya begitu kelas bubar, Grace ini langsung menghilang. Gw cari-cari tapi ndak ketemu. Sampai gw menemukan Grace ini sembunyi dibalik pilar bersama ibunya. Ternyata niatan gue tidak disambut baik. Tapi bukan gue namanya kalo ndak keras kepala. Minggu depannya, gw hadang aja ni anak pas mau keluar. Gw kagak mau salaman sama dia (Di sekolah minggu ini, setelah kelas bubar, setiap anak wajib menyalami gurunya). So, dia gak akan bisa balik. Sadis? Ember. Hahahaha

So, mulailah gw ajar. Minggu pertama alfabet. Huruf besar dan huruf kecil. As my guess, she’s still cant. Minggu berikutnya juga masih. Kali ini dengan bernyanyi. Gw ajak dia bernyanyi pake gitar. Masih belum bisa. Minggu berikutnya dengan kertas-kertas berwarna. Wah,masih belum bisa dongs! Dan minggu-minggu berikutnya gw terus mencoba mencari cara supaya Grace ini bisa. Huruf-huruf akhirnya bisa sih, tapi kata masih belum. Segala metode gw lakuin. Mulai dari mengeja seperti INI IBU BUDI dan I-EN-I-NI. INI! Sampai membelikan buku tulis merangkai indah. Semuanya berakhir dengan antukan kepala gw di papan tulis saking depresi nya. Tiga bulan gw ajar, kemajuan yang di dapat hanyalah akhiran –NG yang bisa dikenal dan dibaca ENG. Hanya itu, tidak lebih. Akhiran –AH seperti kata RUMAH ataupun akhiran –AK seperti RUSAK seolah-olah tidak dikenalinya. Dalam ruangan ber AC, baju gw sudah basah oleh keringat. Hanya demi 1 anak.

Sampai kemarin, dengan assessment baru yang gw dapat dari seorang laoshi yang sedang mengambil master dalam bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus pun, tetap menunjukkan tanda-tanda bahwa tidak ada harapan. Menggunakan gambar-gambar dan teknik khusus, seperti tiada ada efek apa-apa. Kecuali suaranya yang bisa lebih keras ternyata.

Gw sudah ngobrol dengan ibunya. Gw sudah nanya, apakah Grace ini memiliki masalah medis. Apa pernah dibawa ke dokter untuk mengetahui apakah ada sesuatu yang salah darinya. Kata ibunya, belum, dan tidak ada masalah apa-apa. Gw juga sudah bertanya, bagaimana Grace ini belajar di sekolah dan dirumah. Kata ibunya :


  1. Di rumah saya yang ajarin. Bisa kok..
  2. Nilai Bahasa Inggris dan Matematikanya diatas 6,5 kok..
  3. Dia bisa mengikuti kok. Cuma belajarnya mengulang setelah apa yang dikatakan

Hey, ibuuuuu. Bagaimana bisa nilai bahasa inggris dan matematikanya bagus, sedangkan membaca kata dalam bahasa Indonesia saja masih belum bisa? Gw ngamuk sama ibu ini. Terus gw sepak dan tereak depan mukanya (Okay, ini hanya adegan dramatis aja). Tapi gw bener-bener gak terima kata-kata ibu ini. Antara ndak bisa nerima kenyataan, apakah gue yang gagal mengajar atau kata-kata ibu ini yang perlu dipertanyakan lebih lanjut.


Gw selalu memberikan laporan perkembangan Grace ini sama ibunya. Gw paparin segamblang mungkin kemajuan dan perkembangan Grace yang sedikit sekali, malah terkesan mandek. Ibunya berterima kasih sekali sih sama gue. Tapi yang saya butuhin bukan terima kasih, Ibuuuuu. Saya membutuhkan bantuan ibu untuk ikut memacu motivasi Grace dan mengajarinya... *Nangis dan gantung diri*


Ah......


Semakin kesini, semakin sering suara gw meninggi dan kehabisan kesabaran setiap mengajar Grace. Entah udah berapa kali gw antukin kepala gw di dinding saking frustasinya. Gw gak tau sampe kapan gw masih bertahan mengajarinya. Bener-bener pengen nyerah..


Tapi seseorang yang dekat dengan gue terus memberi semangat dan bilang,”Coba lo tumpang tangan doain dia. Bilang dalam nama Yesus...”. Gw baru ngeh, wajar aja gue frustasi gini. Gw belum pernah ngedoain si Grace ini dari 3 bulan yang lalu. Doa aja gak pernah, apalagi tumpang tangan dalam nama Yesus. Shame on me...


Maka, hari Minggu kemarin, setelah 1 jam penuh frustasi mengajar disertai banjir keringat, gw ajak Grace ini berdoa. Gw tumpang tangan ngedoain dia. Gw menyerah dengan usaha gw, gw minta Tuhan yang turun tangan langsung. Hampir nangis itu pas ngedoain. Gimana enggak, 3 bulan penuh kesombongan gw merasa bisa ngajarin dia, ternyata gak sama sekali. Butuh Kuasa yang melampaui segala akal pikiran gue...


Gw sih yakin ya, gak dengan serta merta minggu depan Grace ini langsung bisa membaca hanya dengan 1 doa itu aja. Butuh step-step lanjutan dan butuh doa-doa lanjutan. Bahkan, mungkin aja Grace baru bisa membaca 1 atau 2 atau 5 tahun dari sekarang, kalau itu memang masterplannya Tuhan. Yang gw dapetin disini adalah, bukan Grace yang belajar. Tapi gw. Tuhan ingin melihat seberapa besar hasrat gw untuk mau Tuhan bentuk supaya ndak sombong, bahwa dengan kehebatan gue, gue bisa membuat Grace ini bisa membaca. Gw juga yakin, Tuhan kayak mau liat, apa iya gw masih mau melayani Dia, meski terlihat tidak ada kemajuan sama sekali. Apalagi Cuma demi seorang anak. Hati gw masih seperti awal pelayanan dulu atau nggak.


Berat yak melayani Tuhan? Apalagi Tuhan yang dilayani ini adalah Tuhan yang besar dan yang meminta totalitas dan kesempurnaan. Dalam hati pengen bilang,”Eh, God.. Gue ini gak sempurna dan berdosa. Mana bisa gue ngasi yang sempurna? Plis deg...”. Tapi gw juga yakin, seyakin-yakinnya. Dia akan bilang, “Hey, Son.. I knew you. Masakan Aku meminta engkau melakukan sesuatu yang tidak bisa kau lakukan? Bukannya ada Aku? Aku yang akan memampukanmu dan memperlengkapimu. Percaya saja padaKu..”

 Kalo Tuhan udah bilang gitu, mau ngomong apalagi?



Eniwei, kabar terbaru dari anak ini ketika saya ke Bandung lagi adalah, ternyata dia sudah bisa membaca. Rekan sepelayanan saya yang kini mengajarnya mengatakan demikian. Well, saya bahagia mendengarnya. Semoga dia terus bisa belajar membaca dengan baik.


Surabaya, 15 Mei 2014
Dalam kondisi bosan 

Rabu, 14 Mei 2014

Kematian

Hai.
Selamat sore. Ya, Selamat sore buat kamu sekalian yang masih menikmati dan membaca tulisan-tulisan saya.
Saat ini saya sedang jaga di RS. Sudah keliling, dan sekarang sedang duduk menunggu teman kerja menyelesaikan kerjaannya dan makan malam. Rasanya saya demam lagi. Pilek dan batuk ini benar-benar mengganggu.

Eniwei, saya  mau ngomong soal kematian. Kenapa kok saya sering ngebahas kematian? Seorang filsuf yang saya lupa namanya pernah mengatakan demikian :

"Ketika kita mengerti tentang kematian, hidup terasa lebih mudah dijalani.."

Saya suka dengan pernyataan beliau. Ditambah lagi, Belum setengah bulan, di bulan Mei ini, saya sudah 'memberangkatkan' 4 pasien. Bukan perkara mudah menyampaikan kematian kepada keluarga pasien. Terlebih lagi bagi saya yang melankolik ini. Tapi bekerja di dunia kedokteran mau tidak mau saya harus bisa deal dengan hal itu.

Kali ini saya hendak mengutip tulisan saya di blog saya yang dulu. Tentang kematian. Semoga memberi makna buat kalian...

Note. Tadi ketika saya hendak ke ruang makan, langit sore begitu indah. Saya menyempatkan diri berdiam di parkiran dan memandang langit. Hidup itu indah. Mati pun tidak masalah...


Kematian.


Bagi saya, Kematian adalah salah 1 topik yang sangat menarik untuk dibicarakan. Mendapatkan pemahaman bahwa kematian merupakan hal yang esensial, krusial, tapi bukan sial adalah upaya untuk mengerti apa arti hidup itu sesungguhnya . Memahami kematian dapat memberi pengertian apa itu hidup. Saya bersyukur, Paulo Coelho, pengarang favorit saya juga berpendapat demikian.

Banyak orang takut untuk mati. Jangankan mati, membicarakan kata “mati” itu pun dianggap sebagai salah satu pelecehan terhadap keberlangsungan hidup. Alasan ketimuran, ketidaksopanan, dijadikan kambing hitam untuk menabukan pembicaraan tentang kematian ini. Salah satu hal yang disayangkan.

Barusan (Baru saja) saya menonton sebuah acara televisi. Disitu diceritakan bahwa presenter acara ini ingin mati dalam keadaan tenang. Tidak sakit parah. Kalau bisa, mati dalam kedaan sedang beribadah kepada Tuhannya. Saya berpikir, ini pikiran yang sangat manusiawi sekali. Banyak orang menginginkan demikian. Tanpa proses tersiksa terlebih dahulu. Malah, mendapat image yang baik, jika proses mati itu dalam keadaan beribadah.

Sayapun demikian. Tidak ingin mati dalam keadaan sakit parah. Tapi mati dalam keadaan berdoa tidak pernah jadi prioritas saya. Bahkan menjadi keinginan pun tidak.

Telah lama saya bercita-cita ingin mati ketika bertugas sebagai tenaga medis. Entah itu karena tembakan yang meleset dalam sebuah perang di Kongo ketika saya mengobati luka seorang anak kecil (Oh, sejak kecil hingga sekarang, ke Afrika adalah salah 1 impian saya). Atau jatuh kedalam jurang di lereng pegunungan di Papua ketika mengemudi mobil yang membawa pasien saya untuk dirujuk. Bahkan kalau bisa, jasad saya tidak pernah ditemukan sehingga tidak ada monumen peringatan akan diri saya yang dibangun di Kabanjahe sana, dimana saya dilahirkan. Sebuah Cita-cita yang gila.

Sebagai seorang Batak, sering saya ikut berziarah ke pekuburan tempat dimana opung-opung serta Tulang-tulang (paman) saya dikuburkan. Tangisan selalu ada diantara kerabat ketika berziarah tersebut. Terutama ibu saya yang memang sentimentil (Dan kesentimentilan ini rupanya menurun ke saya. Hal yang saya syukuri, meski sering sekali merepotkan). Ini membuat saya berpikir, jika saya mati mendahului Bapak-Ibu saya, juga Abang dan Adik-adik saya, monumen kematian saya hanya akan membuat duka itu akan terasa mendalam bagi mereka. Begitupun jika salah satu dari mereka yang mendahului saya. Hal ini saya yakini mengingat hubungan kami begitu akrab, sehingga jangankan mati. Ketika salah satu dari kami bepergian keluar kota, itu saja sudah membuat kami sedih. Susah memang menjadi keluarga yang sentimentil.

Kembali ke topik mati tadi. Seperti yang saya bilang, mati itu seru lagi untuk dibicarakan. Bagaimana orang memandang kematian akan mengejawantahkan bagaimana mereka hidup. Ketika seseorang menganggap mati itu hanya hilangnya sebuah entitas tanpa ada kemungkinan bermanifestasi dalam entitas lain, tentu saja akan menghidupi kehidupannya dengan sekena dan ala kadarnya. Toh, cepat atau lambat akan berakhir. Bagi kalangan yang berputus asa, tentu akan segera mengakhiri kehidupan mereka. Sebuah pilihan yang luar biasa berani. Sayang sekali. Andai keberanian itu dipakai untuk menjalani hidup yang diberikan pada mereka, tentu kematian akan terasa lebih baik.

Coelho bahkan memberikan bagi dirinya sebuah penghargaan tentang kematian dalam karyanya ‘Veronika Memutuskan Untuk Mati’. Buku yang jangankan untuk dibaca, membelinya pun saya belum sempat, meski sudah sangat direkomendasikan oleh seorang teman. Juga J.K Rowling dalam Saga terakhirnya ‘Harry Potter dan Relikui Kematian’. Sebuah saga terbaik sepanjang sejarah, menurut saya. Apalagi penggambaran kematian yang menurut saya begitu indah atas kisah relikui dimana kematian digambarkan sebagai teman lama.

Tidakkah kita semua menyadari bahwa kematian itu terasa begitu dekat? Begitu karib ketimbang sahabat terbaik? Tapi mengapa justru hal itulah yang paling kita hindari dalam percakapan serius kita?

Kadang saya cemburu dengan mereka yang mati muda. Buat saya hal itu cool. Setidaknya, itulah yang terlihat. Padahal, kematian pun bisa datang dalam sosok penipu. Jika demikian, mati dalam kedaaan telanjang pun akan menjadi sebuah aib. Meski bisa saja ketelanjangan itu diakibatkan karena ada menyukai setelan mahal yang dikenakan yang mati itu dan lantas mengambilnya, tanpa sempat memakaikan sesuatu sebagai ganti yang pantas. Mati pun menjadi tidak keren lagi.

Kematian, dengan cara apapun dia memeluk kita, kedatangannya tidak akan pernah kita sadari. Bahkan kata “Hampir Mati” atau “Nyaris Mati” atau “Sedikit Lagi Mati” juga tidak akan bisa menggambarkan kematian itu sesungguhnya. Terbukti, tidak ada orang yang sudah mati kembali pada kita dan kemudian menceritakan pengalaman ‘seru’nya mati. Jadi, tidak akan ada saran-saran,”Cobain deh mati dengan cara begini!” atau “Kamu matinya jatuh dari Monas saja. Menegangkan tapi sebuah harga yang pantas...”

Kematian sama pantasnya dengan kehidupan yang dijalani sebaik-baiknya. Jika hidup telah dijalani sebagaimana mestinya sesuai dengan hasrat dan cinta yang ada, tanpa harus memenuhi tuntutan orang-orang ataupun demi sebuah pembuktian, maka kematian adalah sebuah medali untuk kehidupan berikutnya yang seindah yang telah dijalaninya. Bahkan lebih indah. Yah, setidaknya keyakinan saya berkata demikian...


Catatan saya. 
Diantara semua tulisan-tulisan yang pernah saya publikasikan melalui blog maupun fesbuk, tulisan ini adalah karya terbaik saya. Dari segi tema hingga pemilihan kata. Saya bukan sombong. Anggap saja ini adalah apresiasi terhadap diri sendiri.

Surabaya, 14 Mei 2014
Ketika bangsal sepi, sesepi hati ini...

Selasa, 13 Mei 2014

Move On. (Bisa?)


Malam ini saya baru selesai jaga di RS. Mau pulang, tapi pengen nge blog dulu. Lagipula, di kosan bakalan susah move on... #Eh?

Ya. Kali ini saya ingin menulis tentang topik yang tabu dibicarakan sebagai laki-laki. Terutama saya, yang menjunjung tinggi maskulinitas. Tapi saya ingin belajar terus jujur, sebagaimana diri saya selama ini. Brutal truth always uncomfortable. But it is must to do thing to be free.

Saya pernah patah hati. Berkali-kali. Untuk banyak perempuan. Meskipun demikian, tetap saja saya jatuh cinta. Saya tidak pernah kapok untuk menikmati bagaimana rasanya jatuh cinta. Cinta membuat saya bahagia. Dan saya layak untuk bahagia. Mengenai apakah cinta saya berbalas atau tidak, hanya sepenggal luka yang akan hilang dibalut waktu. Saya percaya bahwa luka yang diakibatkan cinta hanya meninggalkan scar. Tidak membunuh harapan. Saya harap kalian juga demikian.

Patah hati pertama saya ketika kelas 1 SD. Oleh seorang perempuan bernama Dewi. Kecengan sekaligus saingan akademis saya. Ya, mungkin hormon saya terlalu cepat keluar. Terbukti dengan banyaknya bulu-bulu di wajah dan badan saya. But it's okay. Banyak yang menyukai cambang dan bulu dada ini... #eh?

Kembali ke topik. Saya patah hati karena dia pindah ke mana yang saya pun tidak tahu. Tapi apakah saya sudah move on? Jelas. Kenangan saya dengannya tidak banyak. Yang spesial antara saya dengannya cuma dialah my first kiss. Ups! Ya, saya pernah tidak sengaja berciuman dengannya ketika pelajaran menulis rangkai. Jadi, saya duduk di bangku paling belakang, dan dia duduk di bangku paling depan. Ketika saya hendak mengumpulkan tugas, dia baru selesai mengumpulkan. Dan puji Tuhan, berciumanlah kami. Kenapa saya bilang puji Tuhan? Karena saya sudah berjanji dengan diri sendiri, bahwa perempuan berikutnya yang akan saya cium bibirnya adalah dia yang akan saya bawa di depan mimbar. Dia, yang akan saya bawa ke Tuhan, dan berjanji akan memberikan cinta dan kesetiaan saya. Sayang, gereja-gereja di Indonesia belum bisa menerima konsep cium bibir di altar. Yah, mau ga mau ya cipokannya di resepsi aja. 
*Oh, costae ke 13 ku, kamu sudah lahir belum sih?

Perempuan kedua adalah kecengan saya ketika SMP. Saya patah hati karena tidak berani mengungkapkan. Jaman SMP adalah jaman saya masih pengecut. Tidak berani godain cewe. Apalagi godain cowo. Bahkan, ketika belakangan saya mengetahui bahwa cewe ini juga sebenernya ngecengin saya, saya tetap berjibaku dengan buku-buku. Sampai akhirnya kami dipisahkan oleh kelulusan.

Jaman SMA, ketika saya menjadi lebih berani, yang terbukti dengan menjadi junior paling pertama dan konsisten ngelawan kakak kelas dan guru, saya tetap tidak berani nembak cewe. Ehm, maaf. Pernah nembak sekali, tapi ditolak. Dan saya patah hatinya sambil diam dikamar asrama dan megang bola pingpong, yang terus saya bawa kemana-mana. Saya tidak tahu kenapa harus bola pingpong. Bahkan bermainnya pun saya tidak bisa. Cuma dalam konsep ketidakwarasan berpikir saya jaman SMA dulu menganggap bahwa patah hati dengan cara begini adalah unik. Biar 1 sekolahan tahu gitu, bahwa saya juga bisa patah hati. Tapi sayangnya tidak. Yang tahu saya patah hati cuma 1 orang kakak kelas. Cantik dan sholehah. Dia sempat menanyakan perihal bola pingpong itu, yang saya yakin pasti disesalinya. Well, bless u, sist.
*Jaman SMA saya pernah nembak lagi dan diterima. Kami jalan 2 tahun dan putus. Tapi saya benar-benar bisa move on dan berteman baik dengannya hingga kini

Jaman kuliah. Ah, jaman ini banyak sekali saya patah hati. Benar, tampang saya memang biasa. Menjurus ke tidak biasa dengan pola asimetris disana-sini. Tapi saya harus jujur. Saya tahu benar bagaimana memperlakukan cewe. karena itu, teman-teman saya terus beranggapan saya player dan tukang PHP cewe. Mereka kayanya lupa juga bahwa dibalik itu semua, record patah hati saya ketika kuliah jauh lebih banyak dan mendalam ketimbang image yang timbul bagi mereka. Well, that's life. Banyak ga adilnya... (Hahaha)
Intinya, jaman kuliah itu penderitaan saya karena cinta banyak bener. Sampai-sampai saya tidak bisa mengingat siapa-siapa saja mereka.

Kali ini. kali ini saya pun lagi patah hati. Kali ini patah hatinya karena seseorang yang sangat spesial buat saya. Hancur? Pakai banget. Sampai sakit seminggu ini. Kenapa begitu sakit? Rasanya saya masih belum bisa menceritakannya. Yang jelas, sedih sekali. Setiap malam saya berdoa meminta kekuatan dari Tuhan. Saya terlalu mencintai orang yang salah. Yang mungkin tidak mengerti cintanya saya, dan menerima nya. Menyedihkan? Pakai banget (masih). 

Pelarian saya cuma ke RS. Bekerja, bekerja, dan bekerja. Sering saya berharap, dimasa saya tidak jaga, saya dipanggil untuk menggantikan teman yang berhalangan. Berada di RS ini saya merasa nyaman. Sebagai manusia, dan sebagai diri saya sendiri.

Saya memang belum bisa move on. Tapi ketika melihat keluar dan matahari bersinar begitu cerah dari jendela RS seperti tadi sore, saya merasa hangat. Tuhan saya masih ada disana, tersenyum dan berkata bahwa segalanya akan baik-baik saja. Ketika menyentuh pasien-pasien dan berdialog dengan mereka, saya merasa jauh lebih beruntung. Masalah saya cuma hati saja. Hati yang terluka. jijik memang bahasa saya kali ini. Tapi percayalah, ketika kalian mengalami fase seperti yang saya alami, kata jijik itu seketika hilang dari area Wernicke otak besar kalian. Percayalah..

Pun, dengan teman sejawat dan perawat-perawat. Saya nyaman bersama mereka. Setidaknya, saya tidak salah profesi. Apalagi RS ini penuh wanita. Yah, mudah-mudahan bisa move on. Asal bulu-bulu saya tidak terus-menerus dicabuti mbak-mbak perawatnya saja.

Saya belajar move on terus. Susah? Jelas. Masalah hati ini rumit, kawan. Cinta bisa begitu indah bagaikan blackforest cake, berhiaskan ceri dan glasur putih nan menawan. Tapi cinta juga bisa bagaikan diabetes yang membunuh pelan-pelan setiap organ, dengan mengurangi fungsi organ lainnya kalau terlalu banyak makan blackforest. Maaf, perumpamaan saya begitu medis. Bagaimana yah, saya seorang dokter. Dan ini dunia saya. Saya mencintai dunia ini. Kalau tidak suka, doakan saja agar saya tidak diabet.

Saya masih menangis.
Saya masih mengambil gitar untuk bernyanyi melipur lara.
Saya masih mengingat dia.
Tapi ada banyak hal yang sudah saya pelajari.
Dan saya mau terus melangkah.
Tuhan masih bersama saya, dan memahami luka hati saya.
Itu saja cukup.
Paling tidak untuk saat ini...


Note. Berikut saya masukkan gambar-gambar yang temanya move on. Coba kalian liat satu per satu. Bagus-bagus dan mendalam maknanya. Beneran, liat satu-satu. Tapi gambar favorit saya adalah yang paling atas sebelum tulisan ini. Begitu maskulin, dingin, sedih, dan merepresentasikan kesendirian saya bersama alam.


Surabaya, 13 Mei 2014 Pukul 19.55
Ketika jam jaga sudah berakhir 2 jam lalu, dan saya enggan pulang..