Senin, 19 Januari 2015

Relatif

Selasa, 20 Januari 2015

Saat ini jam saya menunjukkan pukul 10.20. Bagi kebanyakan orang, masih berada dalam kebingungan dalam hal menyapa. Entah selamat pagi ataukah selamat siang. Bila hari demikian cerahnya hingga sengatan sang mentari mulai terasa, selamat siang lah yang terucap. Namun bila mendung datang menghampiri, yang disertai turunnya hujan, maka selamat pagi akan lebih terasa. Semua terasa relatif.

Ngomong-ngomong soal relatif, kita rasanya berada di dunia dimana semuanya tidak ada yang absolut. Kebenaran yang mutlak sekalipun, dapat dipuntir, diolah dengan kata-kata luar biasa, kemudian dilemparkan kembali dalam sebuah bentuk yang membuat kita memberikan penyetujuan. Seperti politik yang terjadi saat ini.

Teringat oleh saya sebuah tulisan di blog seorang teman. Tulisannya ini sebenarnya hanya menyoal tentang ungkapan syukur dan kebahagiaannya di fase kehidupan yang ia rasa luar biasa dan merupakan sebuah perjalanan mencapai impian yang baginya luar biasa juga. Pun bagi saya, tulisannya sangat menarik untuk dibaca. Tidak ada unsur arogansi disana. Tapi, disinilah 'relatif' itu datang. Ada sebuah komentar yang menyatakan bahwa penulisnya sombong. Ingin saya marah. Tidak pantas hal itu disematkan. "Bukannya kamu yang sirik? Biasa aja kali,woi!", begitulah ide yang ingin saya lontarkan. Tapi saya berpikir kembali, kedekatan saya dan teman ini akan membawa unsur subjektivitas yang kental. Dan tendensi yang demikian hanya akan membawa kesulitan buatnya. Karena itu, saya memilih diam.

Beberapa hari yang lalu, saya menonton sebuah video yang dibagikan di sebuah laman situs humanis.  Video itu memperlihatkan pembicaraan seorang ayah dan putrinya. Bagaimana sang ayah tersebut mengajari sang putrinya untuk mengetahui konsep dirinya, dan betapa ia sangat berharga. Sang ayah mengambil perumpamaan bahwa anaknya adalah seorang Princess, dan kelak akan menjadi Queen. Sehingga sang anak ini harus menjaga dirinya, dan sikapnya untuk menjadi seorang yang baik. Buat kebanyakan orang, dan juga saya, akan mengamini bahwa video ini adalah video yang sangat baik. Sarat pengajaran yang luar biasa dari seorang ayah kepada putrinya. Juga kedekatan yang indah. Tapi tetap saja,'relatif' akan selalu muncul.

Ada 2 komentar yang mengusik dan mengganggu saya.

Komentar pertama : Orang ini menyatakan tidak baik mendidik anaknya dengan mengajarkan bahwa dirinya adalah seorang putri. Nanti anak ini akan merasa dirinya putri dan sikapnya menjadi tidak baik. Bukan hanya itu saja, sang ayah dikatakan menjual mimpi ke anaknya.

Komentar kedua : Orang ini mengatakan bahwa seharusnya sang anak dididik sesuai dengan iman Kristen dan sesuai Alkitab.

Sebagai seorang Kristen, saya sendiri tidak menyukai komentar seperti ini. Buat saya, komentar begini hanyalah komentar hipokrit. Membawa-bawa unsur agama dalam membenarkan pandangannya buat saya adalah tidak benar. Lagipula, saya tidak melihat adanya hal yang bertentangan dengan kekristenan di video itu. Sepanjang hal itu baik, kenapa tidak? Orang ini menafikan bahwa setiap anak kecil mempunyai imajinasi yang luas yang harus selalu dipuaskan dan mendapatkan jawaban. Pembelajaran melalui mimpi dan perumpamaan akan membawa anak belajar untuk memiliki iman (terhadap apapun), dan harapan. Tidak jauh berbeda mengajarkan ke anak bahwa mereka dapat meraih bintang dilangit asalkan terus berusaha dan berharap. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya menjadi dewasa, mereka akan memahami sendiri maksud di
balik itu semua. Pendapat saya ini sekaligus mengomentari komentar pertama tadi.

Satu lagi. Tadi pagi saya membuka youtube. Video yang saya lihat kali ini adalah "Sri Ngilang". Sebuah video yang menarik dimana tokoh-tokohnya diperankan oleh bule-bule dari Australia, tapi menggunakan bahasa Jawa. Saya terhibur dan merasa bangga, bahwa salah satu bahasa nasional dihargai sedemikian rupa oleh bangsa asing. Tapi, kembali. Tetap saja 'relatif' sialan itu muncul.

Ada 2 komentar pula yang mengganggu saya.

Komentar pertama mengatakan bahwa kita harus malu karena bahasa Jawa diobrak-abrik oleh bule-bule ini. Komentar kedua bilang bahwa bahasa mereka kacau balau. Eh? Komentar ini bener-bener ga pake otak kan ya? Soalnya saya bingung pola pikirnya dimana. Entah kenapa begitu negatif.

Relatif

Ya, relatif telah membuat banyak kita mengabaikan banyak hal. Kita terlalu dipenuhi kenegatifan untuk melihat segala sesuatunya. Entah supaya kita dianggap berkontribusi, ataukah hanya ingin nampang saja. Juga mungkin karena demi nasi bungkus (demo hotel Zodiac).



Surabaya, 20 Januari 2015
Dalam keadaan drop dan berdoa semoga tidak tipes...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar