Sabtu, 19 November 2016

Tas Doraemon


 


Tas Paha Eiger
     Saya, setiap berangkat kerja di RS selama di Sumba ini, entah itu visite pasien ataupun jaga, selalu membawa tas paha. Tas hitam berkantung banyak dan bermerk Eiger ini sudah menemani saya selama 8 tahun. Awet ya? Iyalah. Saya kan setia. Mantan-mantan saya saja yang tidak. #Eh?

    Tas ini saya sebut tas doraemon. Mengapa? Karena isinya banyak sekali. Mungkin hampir 2 kg beratnya. Saya gantung mengelilingi perut dan terletak di paha, demi satu tujuan : Perut bisa lebih kempes. Tapi memang hanya angan semata. Perut saya masih begini-begini saja.

    Mengenai isinya, seperti yang bisa kalian lihat pada gambar di atas. Semua kebutuhan darurat sesuai profesi saya sebagai dokter ada disana. Awalnya tidak sampai sebegini sih. Tapi semenjak mengikuti festival Pasola di Sumba pada bulan Februari kemarin, saya memutuskan untuk mengisinya dengan peralatan medis sederhana. Ya, pada Festival Pasola yang merupakan Festival Adat tersebut, terjadi sedikit kerusuhan pada akhir acara. Batu beterbangan beserta molotov. Di sebelah saya terdapat anak kecil yang kepalanya berdarah terkena lemparan batu. Seorang teman bertanya,”Kamu kan dokter. Ada yang bisa kamu lakukan tidak?”. Sedihnya, saya tidak membawa apa-apa waktu itu. Jadi, saya tidak dapat berbuat banyak. Tapi pengalaman memang selalu menjadi pelajaran terbaik.

Kalian pasti sedang menduga-duga dan menerka-nerka apa saja isinya berdasarkan gambar diatas, bukan? Mari saya jelaskan.

1.       Dompet
Seringnya sih dompet ditaro disaku celana. Tapi kalau duduk ataupun rebahan di kamar ketika istirahat, saya simpan di dalam tas.

2.       Nametag
Telah jelas.

3.       Charger Hp
Telah jelas.

4.       Sisir
Telah Jelas : Kadang-kadang tampil charming sekali-kali bolehlah ya?

5.       Permen
Habis jaga malam biasanya nafas ini beraroma surga. Sebagai tindakan preventif agar supaya tidak memunculkan polusi baru, permen mint adalah salah satu solusi.

6.       Ninja Wallet
Nah, ini benda favorit saya. Ini bentuknya berupa penggaris dan berbahan besi. Bisa untuk membuka botol, memotong benda yang agak tajam, mengukur benda, membuka baut, menahan ponsel, dll. Ada 12 fungsi. Salah satu benda paling cool yang saya punya!

7.       Kertas Karbon
Percaya atau tidak, di tempat saya bekerja masih menggunakan kertas karbon untuk menggandakan resep, resume pasien, dan berkas yang lain. Belajar dari salah seorang senior (Thanks kak Icha) yang selalu membawa karbon kemana saja, saya pun melakukan hal yang sama. Seru ya? Hahahaha

8.       Buku Saku
Isinya selain beberapa catatan medis dan terapi-terapi, juga berisi catatan pribadi serta jurnal kegiatan yang penting. Buku ini sudah ada sejak saya bekerja di Surabaya 3 tahun yang lalu. Isinya ada banyak kosakata bahasa Jawa (Bahasa Surabaya). Bekerja di lingkungan budaya yang bukan budaya ibu, mengharuskan saya setidaknya memahami apa yang dibicarakan oleh sekitar. Yah, setidaknya menjadi bisa menerka-nerka apa yang dibicarakan.

9.       Kantung Serbaguna
Isinya antara lain : Pas Foto berbagai ukuran, Flash Disk,Materai, Kancing Baju, Jarum Jahit, Kantung Plastik, Fotokopi KTP, Ikat Rambut. Loh, kok ada ikat rambut? Iya, beberapa waktu yang lalu rambut saya sempat gondrong, jadi saya membutuhkan ikat rambut supaya lebih rapi. Ah, saya merasa keren sekali dulu ketika gondrong. Buakakakaka

10.   Termometer
Telah jelas.

11.   Pen Light
Telah jelas.

12.   Saturasi Oksigen
Ketika visite pasien, alat ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui kadar oksigen pasien. Terutama yang dengan penyakit gangguan pernapasan. Mengetahui kadar oksigen serta rentang nadi pasien, membantu dalam membuat assessment selanjutnya.

13.   Pulpen
Sebenarnya bisa 2-3 pulpen yang dibawa. Bekerja sebagai dokter, saya rasa semuanya tahu bahwa benda sekecil ini sangat mudah hilang. Entah itu dipinjem tidak kembali, maupun jatuh, dsb. Benda sekecil inipun bisa membuat pertikaian. Tidak percaya, coba saja letakkan sebentar di meja, kemudian pergi ke toilet. Semua akan tidak lagi sama, kawan!

14.   Kotak Obat
Obat-obat untuk penyakit-penyakit umum ada disini. Mulai dari obat batuk/pilek, demam, nyeri perut, mencret, hingga vitamin ada semua. Terakhir, bahkan saya menyimpan obat hipertensi.

15.   Meteran
Mau jadi tukang jahit, pak? Mungkin kalian berkata demikian. Tapi percayalah, meteran ini perlu sekali untuk membuat penilaian status gizi pada anak. Konsulen anak saya disini sangat detail dalam menangani pasien, terutama pasien anak dengan gizi buruk. Mengukur lingkar perut anak adalah salah satu hal yang wajib dilakukan. Seru kan?

16.   Kalkulator
Ini juga sangat penting untuk menghitung dosis cairan infus, dosis obat, dan jumlah darah yang perlu ditransfusi pada pasien dengan anemia berat. Terutama pada pasien anak. Sekali lagi, kami diajari konsulen disini untuk memberi terapi yang adekuat berdasarkan kebutuhan setiap anak. Karena berat badan mereka yang berbeda-beda. Ah, dr. Windi, Sp.A saya padamulah dok. Oh ya, kok gak pakai kalkulator pada hp? Hp saya juga agak-agak busuk. Terlalu banyak menyimpan kenangan akan mantan mungkin. Nantilah saya ganti mantan. Eh, hp maksudnya.

17.   Cotton Bud
Percayalah, ada banyak pasien membutuhkan ini. Kalian tahu maksud saya kan? :P

18.   Betadine, Kassa, Hansaplast, One Swab
Perlengkapan P3K untuk keadaan luka. Ya itu tadi, benda ini ada karena pengalaman saya yang tidak bisa berbuat sesuatu kepada anak kecil dengan kepala berdarah tadi.

Benda-benda diatas semuanya tersimpan dalam tas paha hitam ini. Tapi bila saya melakukan perjalanan udara, ada perlengkapan lain yang saya bawa. Tapi semuanya tersimpan di dalam tas ransel. Diantaranya adalah, masker wajah, Tensimeter, Steteskop, dan Perban Gulung. Saya ini agak-agak ya? Namanya juga docpacker.

Tapi percayalah, dalam setiap perjalanan, kita tidak tahu apa saja yang akan terjadi. Ya kita berdoa agar hal-hal baik saja yang terjadi sih. Tapi mempersiapkan diri dalam keadaan yang tidak mengenakkan (dalam hal medis) akan sangat menolong sekali. Apalagi soal nyawa manusia. Itu sangat penting...

 Sumba, 19 November 2016

Kamis, 17 November 2016

Life's traveller

Saya banyak melakukan perjalanan selama bertugas di Sumba ini. Dari pantai ke pantai, bukit ke bukit, maupun air terjun ke air terjun lainnya. Ada yang terdokumentasi, tetapi lebih banyak yang tidak. Semua dikarenakan telpon seluler saya cukup buruk untuk mengambil gambar. Itu alasan pertama. Alasan kedua, saya tidak memiliki kemampuan mengambil gambar yang bagus. Ketiga, lebih sering melamun dan menikmati makna yang saya dapat selama melakukan perjalanan tersebut. Cukup disayangkan sebenarnya. Dan rupanya, gambar-gambar yang terdokumentasi pun kebanyakan seperti foto disamping. Sangat tidak penting. 😂
 
Foto ini berlokasi di Pantai Mandorak. Salah satu pantai yang bagus dan menjadi tujuan pelancong datang ke Sumba. Tempatnya satu arah dengan Danau Waikuri yang kesohor itu. Lah, terus kok ga posting gambar-gambar pantai tersebut? Ah, kalian juga bisa browsing di internet bagaimana keindahan kedua tempat itu dan tempat-tempat lain di Sumba ini. Akan ada banyak gambar-gambar dengan kualitas yang bagus dan memanjakan mata ketimbang foto yang saya miliki. Tapi saya akan membagikan sebuah cerita. Cerita tentang bagaimana semangat seorang dokter yang kembali berkobar ketika dokter tersebut melakukan perjalanan. Sebuah cerita tentang kita, tentang kita sebagai manusia. Sebuah cerita yang banyak orang enggan ataupun kurang berminat menceritakan.
 
 
Di sebelah dokter ini adalah salah seorang pasien yang pernah ia rawat. Pasien ini ia rawat bukan saja seminggu-dua minggu. Tapi sebulan lebih. Saya sebenarnya lupa sekali siapa namanya, berapa usianya, serta penyakit yang dideritanya. Yang saya bisa ingat adalah, pasian ini usianya jauh lebih muda dari saya, belum 30 tahun, dan menderita penyakit komplikasi yang banyak sekali. Salah satunya penyakit gagal ginjal dan anemia berat. Pernah mengalami gagal napas. Transfusi darah berkantong-kantong. Serta tidak mampu melakukan aktivitas, bahkan hanya untuk sekedar duduk di tempat tidur. Berapa kali saya dan teman sejawat menduga ia tidak akan bisa melewati masa-masa gawatnya di rumah sakit ketika itu. Tapi mujizat selalu terjadi, bukan? Dan pemuda ini adalah salah satunya.
Saya pun tidak mengenalinya sampai ketika ia memanggil saya, dan berlari mengejar menghampiri sembari berkata, “Bapak dokter!!!”.

Saya saat itu sedang berjalan di pasir pantai sambil melihat anak-anak kecil bermain air. Serta melihat nelayan lokal membawa ikan-ikan hasil tangkapannya. Pemuda ini sedang duduk di pasir bersama kerumunan warga lain bermain kartu. Ia kemudian menceritakan tentang dirinya dan bagaimana ia berada di rumah sakit dalam waktu yang lama, dan mengatakan bahwa saya yang merawatnya dan menyampaikan terima kasih. Ia mengatakan di depan seluruh orang-orang yang berkumpul disitu.  Saya tersentuh, dan kemudian mengajak berfoto bersama, sebagai dokumentasi pribadi.
Dokumentasi-dokumentasi yang ‘tidak sengaja’ terjadi seperti ini bisa menjadi pengingat kepada saya, bahwa ternyata apa yang saya lakukan berarti dan memberi dampak. Kalaupun tidak untuk semua orang, setidaknya 1 pemuda ini merasakan bahwa saya ada gunanya juga. Hal begini membuat hangat di dalam hati. Dan hal itu akan terus membuat saya terus belajar untuk menjadi dokter yang baik, serta memiliki attittude yang baik dalam melayani pasien.
Saya pamit pulang kepada pemuda itu dan kepada warga disana dengan melambaikan tangan. Impian melayani Tuhan melalui pekerjaan sebagai dokter bukan saja digenapi olehNya. Tapi saya benar-benar disertai. Tampak nyata melalui hal-hal yang saya alami seperti ini. Dan saya suka membagikan cerita seperti ini, agar kita semua bisa terus ingat, bahwa kita berarti, dan sesama kita berarti. Melayani dan mengasihi sesama, adalah bukti nyata kita berTuhan, dan mencintai Tuhan. Bukan dengan membagikan kebencian.
Sumba, 18 November 2016
 
 

Senin, 02 Mei 2016

Happy Birthday, Taruna


Hari ini diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagi kampus SMA ketika saya bersekolah dulu, hari ini pun adalah hari yang spesial. SMA saya berulang tahun. Dan hari ini, SMA saya genap berusia 21 tahun. Usia yang masih muda. SMA saya bernama SMA Taruna Bumi Khatulistiwa.

Dari namanya, bisa ditebak bahwa sekolah saya ini adalah sekolah berasrama dengan sistem agak-agak atau semi semi gitulah. Agak militer. Karena berada di Pontianak, maka diberi tambahan Bumi Khatulistiwa. Saya adalah angkatan ke 7 di sekolah itu. Yang bahkan hingga sekarang masih tidak mengerti kenapa saya bisa lolos. Tapi saya sangat bersyukur pernah berada disana dan memiliki cerita serta sahabat yang dapat saya andalkan hingga sekarang. Padahal sudah 15 tahun yang lalu!

Kita semua suka mendengar cerita yang detail. Membuat kita semua memiliki ide masing-masing tentang seperti apa sebenarnya sekolah saya dulu, sehingga muncullah tulisan ini.

Proses seleksi masuk ke SMA saya ini sangat tidak mudah. Dulu, ada beberapa tes yang harus kami lalui sebelum dinyatakan diterima sebagai siswa/i di SMA tersebut. Tes Akademis, Tes Kesemaptaan, Tes Kesehatan, Psikotes, dan diakhiri dengan Tes Wawancara. Semuanya sistem gugur. Yang berarti, dapat melanjutkan ke tes berikutnya bila tes sebelumnya dinyatakan lolos. Setelah angkatan saya, ada beberapa variasi proses seleksi, namun tidak mengurangi kualitas yang diharapkan dari sekolah ini terhadap calon siswa/i nya.

Masa orientasinya pun bervariasi. Berhubung tahun 2001 sistem pendidikan kita masih menganut Caturwulan, maka masa orientasi pendidikan berlangsung selama 1 caturwulan (16 Minggu) yang diakhiri dengan Pembaretan, sebuah istilah dimana merupakan acara puncak dari semua kegiatan yang telah dilaksanakan. Semacam Inagurasi, tapi dengan mengenakan seragam militer hijau dan sepatu PDL, serta penuh lumpur. Tidak ada itu pentas seni mengundang artis. Mana mungkin Ayu Tingting mau menyanyi Sambalado sambil bergelimang lumpur. Hahaha

Selama 4 bulan atau 16 minggu di asrama ini, kami sama sekali tidak boleh bertemu keluarga dan sanak famili. Kami ‘terperangkap’ di dalam kampus dengan segala rutinitas yang padat. Mulai dari subuh hingga malam hari. Oh, saya masih ingat urutan waktu kegiatan asrama dari 04.30 pagi hingga 22.00 malam. Apel Pagi, Apel Siang, bahkan Apel Malam. Melanggar  keteraturan ini, berarti mendapat sanksi. Saya pernah mendapat sanksi dalam hal aturan tidak boleh bertemu orangtua. Saya pernah secara ‘tidak sengaja’ melambaikan tangan di depan jendela kelas ketika melihat orangtua datang berkunjung untuk mengirimkan beberapa barang kebutuhan. Saya katakan tidak sengaja karena sebenarnya saya sudah bertekad bulat untuk tidak melihat keluarga sendiri, meski teman-teman sekelas menyampaikan bahwa orangtua saya ada didepan. Tapi karena desakan dan dorongan teman-teman yang mengatakan bahwa tidak ada yang tahu, saya pun akhirnya melambaikan tangan.

Pada saat itu, angin tiba-tiba agak kencang dan bulu roma saya agak merinding. Saya sudah tahu ada sesuatu yang salah. Dan benarlah firasat itu. Ternyata ada kakak kelas yang melihat dari balik pintu kelas. Saya dipanggil dan diberi hukuman. Lari mengelilingi kolam ikan sambil berteriak,”Saya tidak kangen orangtua!”. Untungnya, hukuman ini boleh dilakukan kapan saja saya bisa dan tidak bertabrakan dengan waktu ekskul. Bakat otak busuk saya mengarahkan saya untuk melaksanakan hukuman itu sore hari ketika semua siswa sedang mengikuti ekstrakurikuler. Tidak ada yang tahu, saya bisa lari sambil berteriak pelan, dan terhindar dari rasa malu. Licik memang. Sepertinya saya ada bakat menjadi politikus.

Baik, kembali ke almamater ini.

Namanya juga sekolah berasrama dengan sistem agak militer tadi. Semua yang akan dilakukan telah terjadwal dan tersusun rapi. Semua memiliki aturan masing-masing. Ada rutinitas harian serta ada buku peraturan kehidupan berasrama beserta pasal-pasalnya. Tentu saja saya tidak ingat saat ini semuanya. Kecuali 1 pasal. Kalau tidak salah pasal 33. Pasal yang mengatur hubungan siswa dan siswi. Dalam bahasa awam, “Ngga boleh pacaran!”. Pasal yang seru dan saru. Pasal yang paling sering dilanggar. Termasuk saya. Pasal lainnya, tentu saja sudah tertelan faktor usia.

Ya. Ada banyak sekali peraturan yang ada. Bukan saja dalam baris-berbaris atau upacara (Oh, ini juga banyak banget aturannya). Bahkan urutan penempatan baju, pakaian dalam, sepatu/sendal sampai tempat kitab suci semua ada aturannya.Ukuran lipatan baju saja diatur. Mungkin 24 cm lebarnya. Untungnya, warna sempak masih bebas. Sehingga bagi rekan-rekan yang menyukai keberagaman warna dalam hal sempak, dapat terwadahi keinginannya.

Teman sekamar di asrama akan berganti ketika kenaikan kelas. Kenaikan kelas berarti perpindahan asrama satu ke asrama yang lain. Itu pun berarti teman sekamar akan berbeda. Sejauh yang saya amati, teman sekamar biasanya berbeda daerah dan berbeda keyakinan. Sehingga diharapkan proses akulturasi dan kesatuan dalam keberbedaan itu dapat terwujud harmonis satu dengan yang lainnya. Pembagian teman sekamar ini diatur oleh OSIS di Seksi terkait. Harap-harap cemas juga sebenarnya. Mengingat karakter setiap orang berbeda-beda, sehingga bila mendapat teman sekamar yang agak berbeda dengan kita, butuh penerimaan yang sangat luar biasa. Mungkin perlu berdiam diri di Masjid atau Gereja atau Cetiya kampus menunggu ilham sehingga bisa dengan berbesar hati mendapat teman sekamar yang hobinya ‘unik’.

Soal tempat ibadah, SMA kami memfasilitasi dengan beberapa tempat ibadah sesuai dengan keyakinan setiap siswa. Masjid ada. Gereja juga ada. Cetiya (tempat ibadah pemeluk agama Budha. Kalau tidak salah sebutannya seperti itu. Mohon koreksi jika saya salah) juga ada. Sehingga kegiatan spiritual pun dapat berjalan dengan baik.

Fasilitas Olahraga juga lumayan. Lintasan lari ada. Lapangan basket ada. Lapangan Voli ada. Lapangan Bulutangkis ada. Lapangan untuk olahraga kesemaptaan ada. Lapangan Sepakbola ada. Bahkan Kolam Renang juga ada. Oke, untuk 2 terakhir merupakan variasi kreatif dari kami saja. Lapangan Sepakbola sebenarnya adalah sebuah lapangan rumput yang lumayan luas, yang berada tepat di depan pintu masuk gerbang kampus. Sering dijadikan tempat bermain sepakbola. Mengenai kolam renang tadi, itu adalah kolam ikan saja, tempat saya dihukum sambil berteriak pelan seperti yang sudah saya ceritakan di depan. Menjadi kolam renang hanya pada moment khusus. Yaitu ujian kesemaptaan. Setelah selesai ujian, biasanya kami akan menceburkan diri untuk berenang disana. Oh, bukan kami sih. Hanya kelas 3 saja. Mengenai alasannya kenapa, hanya Tuhan dan kelas 3 saja yang tahu.

Namanya juga sekolah agak militer. Sistem penilaiannya pun dibuat sedemikian rupa, dengan tidak hanya melihat dari unsur akademis semata. Tapi dari kemampuan fisik dan kepribadian. Pada upacara pembagian rapor setiap caturwulan (atau Semester), selalu ada barisan khusus bagi siswa/i berprestasi. Dari Hal Akademis, Kesemaptaan, dan Kepribadian. Akademis dinilai dari nilai akademik, tentu saja. Kesemaptaan dinilai dari kemampuan fisik. Ada ujiannya juga. Berapa putaran dia mampu selesaikan dalam 12 menit, push up, sit up, dll. Sedangkan Kepribadian, dinilai oleh dewan guru. Dalam ketiga unsur ini, bisa dipastikan saya tidak pernah masuk di jajaran barisan siswa/i berprestasi tersebut. Demi kesehatan mental saya, mari kita skip saja bagian ini.

Ekstrakurikuler. Ada banyak sekali yang harus diikuti setiap harinya. Saya masih ingat ketika kelas satu urutan ekskul dari hari Senin hingga Sabtu adalah seperti ini : Pidato Bahasa Indonesia-Komputer-Ekskul Pilihan-Pencak Silat-Pramuka-Bela Negara. Menginjak kelas 2, Pidato bahasa Indonesia diganti menjadi Pidato Bahasa Inggris. Jadi, meski agak-agak miring juga otak saya ini, bahasa Inggris saya tidak malu-maluin kok.

Ekskul pilihan ada beberapa pilihan. Basket, Ensemble, Pecinta Alam, Karya Ilmiah Remaja. Hanya boleh memilih 1 diantara 4 itu. Basket, saya ga bisa. Ensemble, nyanyi en main gitar fals. Karya Ilmiah, otak begini ga mampu diajak berpikir rumit. Akhirnya saya memilih pecinta alam. Bukan demi maskulinitas atau gengsi yang keren. Tapi mungkin karena kesamaan leluhur bila didasarkan teori Darwin. Dan ga jauh-jauh juga dari apa yang leluhur bisa, saya memilih panjat dinding sebagai fokus kegiatan ekskul. Hal yang saya nikmati hingga berkuliah dulu.

Terakhir.

Bila tadi saya menceritak soal ‘materi’, sekarang saya akan menceritakan soal ‘jiwa’.

Saya tidak bisa menafikan bahwa saya memiliki teman-teman yang solid dan kakak kelas serta adik kelas yang akrab. Kami saling mengenal satu sama lain. Bahkan sekarang ketika sama-sama menjadi alumni. Begitu karib. Hubungan yang awalnya ‘dipaksa’ untuk harus berinteraksi pribadi lepas pribadi, membuat kami dengan sendirinya mengetahui beberapa latar belakang serta keluarga masing-masing. Bukan saja ke teman seangkatan, tapi lintas angkatan. Mungkin karena jumlah kami yang sangat sedikit dalam setiap angkatan. Angkatan saya 50 orang. Angkatan di atas, tidak sampai 50. Angkatan dibawah, hanya lebih banyak sedikit dari angkatan saya.

Disamping itu, kedekatan dengan guru dan karyawan juga terasa. Berawal dari ‘pemaksaan’ kakak kelas untuk menghapal semua nama petugas kantin, petugas pembersih sekolah, satpam-satpam, dan karyawan lain, membuat kami akhirnya merasakan bahwa kami semua adalah satu keluarga. Keluarga besar SMA Taruna Bumi Khatulistiwa. Bukan saja ketika masih bersekolah disana. Bahkan saat ini, saya sendiri selalu merasa sentimentil jika berbicara soal almamater. Apalagi di hari ulang tahun ini. Ulang tahun ke 21 ini. Batapa tidak. Terlalu banyak Cerita dan Cinta yang hadir disana. Salah satu pengalaman luar biasa dalam hidup saya.

Bertahun-tahun sesudah kami menjadi alumni, memang ada banyak sekali perubahan yang terjadi. Baik itu perubahan ke arah yang lebih baik, maupun ke yang kurang baik. Dididik dengan semangat kebangsaan dan nasionalisme dan sikap menghargai perbedaan yang tinggi, tidak serta merta menjadikan semua alumni kami memiliki semangat seperti itu. Hal yang membuat saya kadang merasa prihatin. Tapi setidaknya, latar belakang sejarah yang kami miliki, dapat menjadi bahan yang baik untuk kembali mempersatukan.

Ah, sudah jam setengah 10 malam rupanya di Sumba. Jalanan sudah sepi. Yang terdengar diluar hanya bunyi jangkrik. Tapi suara di dalam hati dan pikiran saya jauh lebih berisik. Haru, Rindu, Bangga, Sukacita, Sedih, dan Perih, semua seolah menyelesak berlomba ingin bercerita.



Selamat Ulang Tahun ke dua puluh satu, almamater kebanggaanku, SMA Taruna Bumi Khatulistiwa.

Jayalah, Mulialah, Cita-citamu.

 

Sumba, 2 Mei 2016
Seorang Alumnus, Angkatan VII (2001-2004)

Sabtu, 24 Januari 2015

Blog Lama vs Blog Baru

Sabtu, 24 Januari 2015

Sedang jaga. Di luar hujan masih turun. Jam tangan menunjukkan pukul 17.47

Barusan saya membuka blog lama (dapat dibuka di : http://www.docpackers.blogspot.com ). Dengan 1 's' di belakang kata docpackers. Blog yang saya buat pada tahun 2010. Tidak ada masalah dengan blog itu sampai ketika terdapat jeda yang terlalu panjang dalam proses menulis, sehingga passwordnya pun terlupakan oleh saya. Dengan adanya blog yang baru ini, saya berharap minat saya dalam menulis dapat terus tertuang kapanpun dan dimanapun saya berada. Kapan saja, bahkan ketika pikiran ini saling berkejar-kejaran untuk mencari titik akhirnya.

Saya kemudian membaca postingan-postingan di awal blog itu berdiri. Rata-rata tema yang saya angkat adalah pengalaman lucu dalam kehidupan perkuliahan semasa di Bandung dulu. Gaya penulisan saya masih sangat labil. Terlalu antusias, dipenuhi 'lo-gue', tak terfokus, dan tidak rapi. Agak tidak nyaman juga, memang. Tapi saya mencoba memahami kondisi emosional saya yang masih muda dan meledak-meledak, tidak selempeng sekarang (meski kadang-kadang juga masih keras).

Saya lantas berpikir, betapa hebat dan banyak hal yang bisa dilakukan oleh waktu. Perubahan-perubahan terjadi begitu cepatnya. Bagi yang mengambil sikap positif dan memanifestasikan dalam setiap segi hidupnya, tentulah merasakan perubahan ke arah yang lebih baik. Sebaliknya. Bagi yang tidak mencoba perubahan atau yang berdiam diri hanya sekedar menjalani hidup, dapat dipastikan berkutat dalam penyesalan mengapa begini dan mengapa begitu. Itulah kita, manusia.

Saat ini saya pun demikian. Khususnya dalam perihal gaya penulisan. Saat ini saya lebih menyukai gaya bercerita yang lebih kalem dan sederhana. Menguraikan semua yang dipikirkan dan dirasakan dengan santai, tanpa berusaha terlihat menonjol. Tapi tujuannya masih sama. Menyoal tentang kemanusiaan dan nilai-nilai yang dapat diambil bagi siapa saja yang membaca. Semoga keluhuran niatan  ini dapat dirasakan dalam setiap penceritaan saya. Bukan, bukan karena saya merasa lebih dewasa ataupun mencitrakan sebagai pribadi yang tenang. Soal selera dan kenyamanan saja kok.

Apakah saya kemudian kehilangan selera humor?
Atau, apakah hidup saya sudah tidak polikrom lagi?
Juga apakah ini berarti tidak ada lagi cerita menarik yang dapat saya ceritakan untuk menghibur?

Saya pikir tidak. Sampai sekarang pun, ada banyak hal-hal luar biasa yang terjadi dan saya sadari sepenuhnya melalui semua penginderaan yang telah Sang Pencipta berikan. Semuanya menarik. Lucu pun tidak pernah berkurang. Kita sama-sama tahu bahwa Dia mempunya selera humor yang baik, yang kalau jiwa kita menyadarinya, kita pun dapat tertawa bersama-sama. Hanya saja, saya lebih bersabar untuk mengelola semuanya dalam pikiran, untuk dapat dipilah dan diejawantahkan dengan cara yang lebih baik dan terarah. Hal ini saya lakukan mengingat betapa mudahnya pikiran-pikiran ini berdistraksi tanpa sempat melebur menjadi satu isi.

Ya, begitulah.

Tapi, bisa jadi juga sih saya telah terlalu banyak mengalami hal-hal berat, sehingga terasa lebih berat jugalah tulisan-tulisan yang tercipta. Bisa jadi...


18.20
Saatnya kembali keliling bangsal.

Senin, 19 Januari 2015

Relatif

Selasa, 20 Januari 2015

Saat ini jam saya menunjukkan pukul 10.20. Bagi kebanyakan orang, masih berada dalam kebingungan dalam hal menyapa. Entah selamat pagi ataukah selamat siang. Bila hari demikian cerahnya hingga sengatan sang mentari mulai terasa, selamat siang lah yang terucap. Namun bila mendung datang menghampiri, yang disertai turunnya hujan, maka selamat pagi akan lebih terasa. Semua terasa relatif.

Ngomong-ngomong soal relatif, kita rasanya berada di dunia dimana semuanya tidak ada yang absolut. Kebenaran yang mutlak sekalipun, dapat dipuntir, diolah dengan kata-kata luar biasa, kemudian dilemparkan kembali dalam sebuah bentuk yang membuat kita memberikan penyetujuan. Seperti politik yang terjadi saat ini.

Teringat oleh saya sebuah tulisan di blog seorang teman. Tulisannya ini sebenarnya hanya menyoal tentang ungkapan syukur dan kebahagiaannya di fase kehidupan yang ia rasa luar biasa dan merupakan sebuah perjalanan mencapai impian yang baginya luar biasa juga. Pun bagi saya, tulisannya sangat menarik untuk dibaca. Tidak ada unsur arogansi disana. Tapi, disinilah 'relatif' itu datang. Ada sebuah komentar yang menyatakan bahwa penulisnya sombong. Ingin saya marah. Tidak pantas hal itu disematkan. "Bukannya kamu yang sirik? Biasa aja kali,woi!", begitulah ide yang ingin saya lontarkan. Tapi saya berpikir kembali, kedekatan saya dan teman ini akan membawa unsur subjektivitas yang kental. Dan tendensi yang demikian hanya akan membawa kesulitan buatnya. Karena itu, saya memilih diam.

Beberapa hari yang lalu, saya menonton sebuah video yang dibagikan di sebuah laman situs humanis.  Video itu memperlihatkan pembicaraan seorang ayah dan putrinya. Bagaimana sang ayah tersebut mengajari sang putrinya untuk mengetahui konsep dirinya, dan betapa ia sangat berharga. Sang ayah mengambil perumpamaan bahwa anaknya adalah seorang Princess, dan kelak akan menjadi Queen. Sehingga sang anak ini harus menjaga dirinya, dan sikapnya untuk menjadi seorang yang baik. Buat kebanyakan orang, dan juga saya, akan mengamini bahwa video ini adalah video yang sangat baik. Sarat pengajaran yang luar biasa dari seorang ayah kepada putrinya. Juga kedekatan yang indah. Tapi tetap saja,'relatif' akan selalu muncul.

Ada 2 komentar yang mengusik dan mengganggu saya.

Komentar pertama : Orang ini menyatakan tidak baik mendidik anaknya dengan mengajarkan bahwa dirinya adalah seorang putri. Nanti anak ini akan merasa dirinya putri dan sikapnya menjadi tidak baik. Bukan hanya itu saja, sang ayah dikatakan menjual mimpi ke anaknya.

Komentar kedua : Orang ini mengatakan bahwa seharusnya sang anak dididik sesuai dengan iman Kristen dan sesuai Alkitab.

Sebagai seorang Kristen, saya sendiri tidak menyukai komentar seperti ini. Buat saya, komentar begini hanyalah komentar hipokrit. Membawa-bawa unsur agama dalam membenarkan pandangannya buat saya adalah tidak benar. Lagipula, saya tidak melihat adanya hal yang bertentangan dengan kekristenan di video itu. Sepanjang hal itu baik, kenapa tidak? Orang ini menafikan bahwa setiap anak kecil mempunyai imajinasi yang luas yang harus selalu dipuaskan dan mendapatkan jawaban. Pembelajaran melalui mimpi dan perumpamaan akan membawa anak belajar untuk memiliki iman (terhadap apapun), dan harapan. Tidak jauh berbeda mengajarkan ke anak bahwa mereka dapat meraih bintang dilangit asalkan terus berusaha dan berharap. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya menjadi dewasa, mereka akan memahami sendiri maksud di
balik itu semua. Pendapat saya ini sekaligus mengomentari komentar pertama tadi.

Satu lagi. Tadi pagi saya membuka youtube. Video yang saya lihat kali ini adalah "Sri Ngilang". Sebuah video yang menarik dimana tokoh-tokohnya diperankan oleh bule-bule dari Australia, tapi menggunakan bahasa Jawa. Saya terhibur dan merasa bangga, bahwa salah satu bahasa nasional dihargai sedemikian rupa oleh bangsa asing. Tapi, kembali. Tetap saja 'relatif' sialan itu muncul.

Ada 2 komentar pula yang mengganggu saya.

Komentar pertama mengatakan bahwa kita harus malu karena bahasa Jawa diobrak-abrik oleh bule-bule ini. Komentar kedua bilang bahwa bahasa mereka kacau balau. Eh? Komentar ini bener-bener ga pake otak kan ya? Soalnya saya bingung pola pikirnya dimana. Entah kenapa begitu negatif.

Relatif

Ya, relatif telah membuat banyak kita mengabaikan banyak hal. Kita terlalu dipenuhi kenegatifan untuk melihat segala sesuatunya. Entah supaya kita dianggap berkontribusi, ataukah hanya ingin nampang saja. Juga mungkin karena demi nasi bungkus (demo hotel Zodiac).



Surabaya, 20 Januari 2015
Dalam keadaan drop dan berdoa semoga tidak tipes...

Minggu, 18 Januari 2015

Mengejar Impian

19 Januari 2015

Hari masih pagi. Saya masih di RS menunggu jam jaga malam berakhir. Duduk di depan komputer sembari mendengar lagu-lagu Fatin, adik saya. Semarga, tidak sekandung. Lagu-lagunya menyenangkan.

Seperti biasa, ada banyak hal yang berputar di kepala belakangan ini. Tidak, tidak sampai membuat gelisah. Hanya berproyeksi, akan kemana dan menjadi seperti apakah semua ide-ide itu. Bergairah sekaligus takut.

Teringat seorang teman baik, dokter juga, blogger juga. Sejak dulu, dia adalah salah satu orang yang tau apa mimpinya, dan berani mengejar mimpinya di antara teman-teman saya yang lain. Saat ini dia sedang berada di Melbourne untuk melanjutkan studi. Tadi malam saya baca blognya. Ah, senang dan bahagia melihatnya disana. Meninggalkan Indonesia untuk 2 tahun demi sebuah impian. Tidak sebentar, tapi tidak lama juga. Saya belum menghubungi untuk mengucapkan selamat ataupun mengungkapkan kekaguman. Tapi jauh dalam hati, saya berdoa untuknya. Dan untuk saya.

Dulu, saya memiliki banyak keberanian untuk melakukan berbagai hal yang ingin saya lakukan. Hormon-hormon yang keluar dalam antusiasme itu membuat hidup saya bersemangat, sekaligus menumbuhkan banyak bulu-bulu di muka saya. Tidak berkorelasi, memang. Tapi ya, rasanya saya saat ini kehilangan keberanian itu. Saya sudah nyaman dengan apa yang saya jalani sekarang. Dan sungguh, itu tidak baik. Untuk orang seusia saya, yang masih jauh untuk didatangi kematian dalam proses penuaan.

Saya kemudian mengingat kembali apa-apa saja yang ingin saya raih dan lakukan, sebelum tersungkur dalam penyesalan. Dari kesemuanya itu, tidak ada satupun yang tidak mungkin dicapai. Persoalannya cuma satu, dan selalu satu. Keberanian.

Memori November 2013 kemudian menghampiri. Kala itu, saya memutuskan untuk hijrah ke Surabaya. Sebuah kota yang asing, sekaligus besar untuk menjadi bagian dalamnya. Dalam pelbagai halangan dan tentangan yang (dulu) begitu berat, ternyata dapat dilalui. Saya mengatakan pada diri sendiri bahwa saya bisa, dan ternyata bisa. Entah bagaimana saya saat ini jika waktu itu tidak meresponi tantangan itu.

Januari 2015. Empat belas bulan setelahnya. Saya kembali bertanya-tanya, "Apa lagi yang akan kau lakukan, hai diriku yang lelah?" Masihkah kau berani menantang semesta untuk memberkatimu dengan dunia yang baru?"

Well, saya tidak tahu. Tapi setidaknya saya memiliki 1 langkah yang akan saya jalani hari ini. Ngeri juga. Tapi hal-hal baik tidak pernah didapatkan dengan mudah. Saya hanya percaya kepada diri sendiri, dan kepada semesta. Jika, kata 'Tuhan' terlalu religius buatmu..



Surabaya, 06.35
Dalam keadaan batuk, pilek, demam, dan masalah pencernaan. Semoga tidak tipes (Typhoid)

Selasa, 13 Januari 2015

Puisi

Ceritanya saya sedang jaga malam. Puji Tuhan keadaan berlangsung aman. Setidaknya sampai saat ini. Saya jadi memiliki waktu untuk menulis. Kali ini saya ingin menulis puisi. Puisi ini saya buat ketika berada dalam penerbangan dari Pontianak menuju Surabaya, awal tahun 2015 ini. Temanya tentang patah hati. Siapapun pernah patah hati, bukan? ^^



Tentang Kita

Dulu, pernah ada kita.
Bukan sekedar cerita, atau canda dalam cinta.
Pernah ada tangis yang kau hamburkan didadaku ketika bercerita tentang masa lalumu.
Juga pernah ada isakku yang membuncah di pelukanmu ketika kubagikan ketakutanku akan hari esok.

Bukan.
Itu bukan sekedar ketentraman ataupun kenyamanan.
Juga bukan kedamaian.
Rasa kala itu sudah tidak berfungsi dan tidak bisa bermanifestasi menjadi apapun yang bisa diterjemahkan.
Hanya ada kita.

Tapi itu dulu.
Sebelum kutahu bahwa sudah ada kalian sebelum kita.
Betapa bodohnya diriku masa itu. Pada masa kita itu.

Bercahaya bagai matahari nakal ke sebuah pohon mangga.
Menyampaikan salam seolah buahnya sudah ranum dan siap untuk dipetik.
Menafikan redupnya binar matamu yang menunggunya.
Menunggu dia dan sebuah 'kalian'.

Mengapa tak kau katakan sejak dulu?
Mengapa tidak sedikitpun dapat kau sampaikan bahwa apa yang selama ini kuanggap sebagai kita,
Hanya sebuah surga sementara.
Yang kini menjadi kenangan.

Alangkah kejamnya dirimu membiarkanku merapikan kenangan itu yang bermilyar-milyar jumlahnya
(mungkin aku berlebihan).

Aku tak bisa menyatukannya.
Karena sudah tidak ada lagi kita.

Aku sudah tidak ada lagi dalam dirimu
Meski keutuhanmu masih terasa sesak didadaku.

Kini aku cuma sendiri.
Ditemani cahaya pohon mangga,
dan semua tentang kita.

4 Januari 2015
Dalam penerbangan menuju Surabaya



Catatan tidak penting :
Mas Inod, thanks buku kumpulan puisinya. Bikin saya tertarik untuk menulis puisi lagi. You heart me, bro!
Ve, sudah aku tulis ya. Selamat menikmati..^^