Bukan hanya saya. Kalian juga pasti pernah mengalami sensasi seperti judul postingan saya diatas. Se-optimis dan se-ekstrovertnya seseorang, setidaknya pernah lah mengalami kesepian 1 atau 2x dalam setahun. Jumlah itu akan meningkat drastis bila disematkan ke pribadi yang semelankolis seperti saya ini. Menyedihkan? Yeah, kadang-kadang saya juga mengasihani diri sendiri sih. Tapi itu beberapa waktu yang lalu. Sekarang saya mencoba untuk mengalihkan rasa itu dalam bentuk yg lebih konstruktif.
Dalam benak saya, kesepian muncul bukan semata karena berada dalam kesendirian. Mengamini lagu Dewa 19 yang bersyair, "Di dalam keramaian aku masih merasa sepi...", memberi peneguhan bahwa kesepian bukan dalam konteks populasi. Pemikiran saya berkata begini,
" Kesepian muncul ketika jiwa ini tidak mendapatkan tempat yang sesuai untuk berbagi kesamaan..."
Dalam bahasa yang pragmatis, rasa kesepian muncuk karena tidak ada orang yang memahami kita sepenuhnya, yang bisa diajak berbagi suka dan duka. Terlihat keren ya frase yang saya gunakan? Tapi percayalah. Jika kalian mengetahui apa yang jiwa saya rasakan, kalian akan sibuk berupaya mencari tempat labuhan untuk saya. Kesepian kronis dalam masa eksaserbasi akut.
*bahkan dalam kondisi seperti ini pun kualitas humor saya masih ditunggangi latar belakang profesi saya sebagai dokter*
Tulisan ini muncul bukan dalam rangka menunjukkan identitas saya sebagai remaja gaul yang doyan curcol. Pun tidak untuk berkeluh kesah atau mencari simpati. Sebagai seorang yang kerempeng karena terlalu banyak mikir, saya telah terbiasa membuat diri saya mengangkat masalah yang saya hadapi dalam bentuk ide sebagai tulisan. Dari dulu hingga sekarang saya beriman bahwa kemampuan menulis dan berbahasa akan meningkatkan kecerdasan intelektual. Menjadi intelek berarti menjadi pribadi yang mampu mengurai segala sesuatu secara logis. Berpikir logis berarti bisa hidup lebih simpel. Hidup yang simpel membuat jiwa lebih damai. Tujuan saya untuk si 'jiwa' itu saja sih sebenarnya.
Saya hanya ingin menyampaikan bahwasanya kesepian itu suatu hal yang alami. Seperti yang saya rasakan sekarang. Tapi bilamana kesepian itu diejawantahkan dengan berdiam diri di kamar, memutar lagu Pance Pondaag dan Dian Pisesha 1 album hingga 1 pak tisu habis, maka hal itu sudah menjadi pemaknaan yang keliru.
Mungkin sudah waktunya kamu, saya, kita, menerima kenyataan bahwa tidak ada sesosok pribadi pun yang bisa melengkapi kita sehingga mengenyahkan kesepian itu. Poinnya? Kita akan terus mengalami kesepian. Solusinya? Berdamai dan berdistraksi dengan keadaan.
Yah, setidaknya buat saya demikian...
*tulisan ini didedikasikan untuk inspirator dan mentor saya. Rasa terima kasih dan cinta yang tak berkesudahan akan terus teruntai untuknya....
Surabaya, 11 Mei 2014 - kamar kos yang sepi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar